Anwar Tjen Online
Selasa, 27 Oktober 2009
  FIGUR "PEMIMPIN" BAGI PGI
Seuntai harap menjelang Sidang Raya XV PGI
(Terbit dalam Berita Oikumene edisi November 2009)

Beberapa waktu berselang, ketika menghadiri suatu lokakarya di mancanegara, perhatian saya tertumpu pada sebuah buku karya Marty Gervais yang dipajang di sebuah toko buku “bekas” di Bologna. Buku berjudul Seeds in the Wilderness (“Benih di padang gurun”) berisi kumpulan profil para pemimpin “religius” yang mendunia dan dikenal dunia. Daftar itu memuat nama-nama termasyhur, baik yang berada dalam bingkai struktur organisasi keagamaan maupun yang lebih dikenal sebagai “pemimpin” (leader) dalam arti pencetus ide. Paus Yohanes Paulus II, Bunda Teresa, Desmond Tutu, Dorothee Sölle, Gustavo Gutierrez hingga Norman Vincent Peale masuk dalam kategori “world religious leaders”.

Soal kriteria yang digunakan untuk memilih para tokoh tersebut memang dapat diperdebatkan. Tetapi, saya lebih tertarik pada apa yang menyebabkan mereka dilihat sebagai figur yang “memimpin” (leading). Rata-rata figur “pemimpin” ini memiliki penglihatan yang tajam mengenai apa yang menjadi tantangan dan pergumulan dunia sekitarnya melampaui cakrawala persoalan pribadi atau kelompoknya. Lalu, sembari berjuang mengatasinya, mereka menawarkan visi yang lebih besar daripada sekadar solusi sesaat, semacam “impian” (dream) ke depan yang ditularkan dan membangkitkan aspirasi banyak orang yang mengenal mereka ataupun gagasan mereka.

Norman Vincent Peale, misalnya, terang-terangan mengatakan, dunia kita ini sungguh-sungguh “edan” dan sebenarnya amat menakutkan. Namun, inilah tokoh “religius”, apa pun definisinya, yang menawarkan visi alternatif lewat kekuatan pemikiran positif. Orang boleh-boleh saja mengeritik karya Bunda Teresa sebagai diakonia “karitatif” yang mengandalkan belas kasihan dan tidak menuntaskan akar-akar permasalahan. Tetapi, hanya sedikit yang dapat menyangkal, visi dan keteladanannya telah menjadikannya ikon yang memberi inspirasi kepada jutaan manusia dalam dunia yang terus mengalami erosi belas kasih. Desmond Tutu, pemimpin Anglikan di Afrika Selatan semasa rezim apartheid, menampilkan karakteristik yang serupa. Siapa yang tidak menyadari masalah HAM yang tengah dihadapi kedua ras dalam sistem apartheid pada masa itu? Namun, sama seperti pemimpin lainnya, Tutu konsisten berpijak pada impian dan pengharapannya akan masa depan yang berkeadilan dan berkeadaban bagi bangsanya.

Beberapa contoh “besar” itu memperlihatkan bagaimana tokoh-tokoh ini “memimpin”. Ada “impian besar” untuk diwujudkan dan ditularkan kepada yang lain; ada pula keyakinan, komitmen dan perjuangan untuk mewujudnyatakannya. Sebagian pemimpin religius tersebut memang tokoh berkarisma (charismatic figure), tetapi kebanyakan lebih merupakan tokoh berkarakter (man and woman of character). Mereka membuktikan kredibilitasnya lewat keteguhan prinsip yang dihidupi sesuai dengan visi dan keyakinannya.

Pemimpin-pemimpin seperti itu tidak mudah ditemukan. Banyaknya keluh kesah tentang krisis kepemimpinan di negeri ini sudah mencerminkan betapa langka dan sulitnya menemukan “pemimpin” yang tak sekedar memegang jabatan “pemimpin” tetapi sungguh bervisi dan berkarakter pemimpin. Tragisnya, krisis ini juga melanda gereja-gereja dan organisasi-organisasi gerejawi. Simak saja apa yang terjadi di sidang-sidang raya gerejawi menjelang akhir masa bakti kepengurusan. Kriteria apa yang dipertimbangkan untuk memilih figur “pemimpin”? Sekiranya pun “visi bersama” sudah dirumuskan lewat proses sinodal sehingga soal visi tak lagi menjadi masalah krusial, masihkah karakter dan integritas diperhitungkan dengan mencermati jejak rekam (track-record) para calon?

Di gereja-gereja yang cenderung menganut sistem bercorak episkopal, keadaan ini lebih parah lagi. Tidak jarang, bukan hanya kasak-kusuk yang bergulir tentang calon “pemimpin”. Bahkan, di balik persidangan resmi pun masih berlangsung berbagai lobi hingga rapat-rapat “liar”. Persidangan telah berubah menjadi bursa calon ketua dan pejabat lainnya. Keseriusan membahas calon pemimpin mendatang dapat saja dilihat sebagai gejala positif. Sebab, seperti yang sering ditegaskan para “guru” kepemimpinan, memang kepemimpinan amat menentukan keberhasilan atau kegagalan suatu organisasi. Namun, seberapa krusial pun peran kepemimpinan, dalam wadah yang mengusung misi Kristus, pencarian akan figur pemimpin semestinya berorientasi pada Dia yang adalah Kepala (Ef 4.15; Kol 1.18; 2.10).

Oleh sebab itu, dalam konteks kesaksian dan tugas panggilan gereja sebagai tubuh Kristus di dunia, sewajarnya dipertanyakan kepentingan mana yang diprioritaskan dalam pencarian figur pemimpin. Bukan rahasia lagi, kepemimpinan yang diperjuangkan di gereja dan organisasi gerejawi masih banyak yang bertipe “kepemimpinan transaksional” (transactional leadership). Yang paling diperhitungkan adalah transaksi kepentingan-kepentingan, pribadi atau kelompok. Sebentuk politik dagang sapi pun dihalalkan sehingga tak dapat lagi dibedakan pemilihan dalam konteks gerejawi dan perebutan kekuasaan di partai-partai politik. Harga yang harus dibayar, hampir pasti, adalah penggerusan kredibilitas dengan segala dampaknya.

Masihkah kita dapat berharap agar pencarian figur pemimpin PGI semakin bebas dari apa disinyalir di atas? Masihkah realistis berharap agar pencarian tersebut bahkan dilihat sebagai pergumulan teologis yang melampaui sekadar perhitungan politis? Dalam proses itu, masihkah relevan mempertimbangkan segi mendasar seperti “kesungguhan sikap dan kelurusan hati ... untuk menaati Allah dan memberlakukan kehendak-Nya” (Piagam Saling Mengakui Saling Menerima, Bab XI)? Sebagaimana visi bersama tentang keesaan gereja tidak didasarkan atas “kekuasaan seperti dalam dunia melainkan atas persekutuan, pelayanan, dan kasih” (Pokok-pokok Tugas Panggilan Bersama III.B.30; Mat 18.1-5; Luk 22.24-38), kita berdoa agar semangat inilah yang juga melandasi proses pencarian figur pemimpin PGI ke depan.

Selaras dengan visi inklusif dalam tema SR XV (“Tuhan itu baik kepada semua orang”, Mzm 145.9a), adalah harapan dan doa kita, kepemimpinan PGI mendatang diisi oleh figur-figur yang dapat merangkul berbagai kalangan dengan kebhinekaan tradisi teologis dan eklesiologis. Terlebih lagi, bila hal itu diperhadapkan dengan perjuangan merajut oikumene, “rumah bersama” bagi gereja-gereja yang bhinneka. Pekerjaan rumah ini semakin berat di tengah-tengah kehidupan bergereja yang belakangan ini terlihat makin terfragmentasi. Oleh sebab itu, dibutuhkan figur yang tidak hanya unggul sebagai “organisator” tetapi juga dapat berperan sebagai “pastor” yang tanggap terhadap pergumulan gereja dan masyarakat, serta cerdas membaca tanda-tanda zaman di tengah-tengah berbagai krisis yang terjadi.

Dalam konteks hubungan antar-agama di tanah air yang kian ditandai dengan berbagai polarisasi, dibutuhkan pula figur pemimpin gerejawi yang mampu berdialog dengan berbagai kalangan religius. Mencermati semangat yang melandasi Lima Dokumen Keesaan Gereja, tugas ini mengandaikan visi teologis yang matang dalam menerjemahkan tugas panggilan bersama gereja-gereja sebagai umat yang terbuka menyambut semua orang sebagai yang dirahmati Tuhan (Mzm 145.9b).

Inklusivitas yang tecermin dalam tema SR XV juga mengajak kita untuk semakin terbuka menyambut peran komponen-komponen yang masih sering harus “menunggu” - kalau tidak dipinggirkan - dalam kepemimpinan gerejawi. Salah satu komponen yang dimaksud adalah perempuan yang memang telah diberi kesempatan tetapi masih sering terkesan kurang proporsional dan tidak jarang lebih bersifat “simbolis”. Komponen lain yang sewajarnya juga semakin diperhitungkan adalah generasi yang lebih muda. Seperti yang pernah ditulis Eka Darmaputera† di usia senjanya, yang dibutuhkan bukanlah pengganti-pengganti pemain lama yang mengulangi lakon-lakon lama, melainkan pemain-pemain baru dengan lakon-lakon yang baru pula. “Sebab itu,” tukas Eka, “pemain-pemain lama mesti tahu diri. Mereka (baca: saya) sudah tidak cocok lagi untuk bertahan selama mungkin ... Semakin cepat yang tua-tua ini pergi, semakin kuat angkatan baru ini didorong atau dipaksa untuk mandiri.” Kata-kata yang terkesan “pedas” itu tak perlu ditafsirkan berlebihan. Kita berharap dalam komposisi kepemimpinan PGI mendatang ini, semakin luas terbuka jalan bagi sinergi antara generasi tua dan muda. Yang satu membutuhkan kearifan dari pengalaman, yang lain memerlukan kegairahan dan idealisme untuk bergerak melampaui status quo.***
 
Kamis, 08 Oktober 2009
  OBITUARIUM: MARTIN HENGEL (1926-2009)
Selamat Jalan, Prof. Martin Hengel!

Beberapa waktu lalu, kabar kepergian Prof. Martin Hengel merebak dalam dunia maya penelitian Kitab Suci yang lazim disebut “ilmu biblika”. Mahaguru Tübingen ini menghadap Khaliknya pada tanggal 2 Juli 2009. Tidak begitu mengherankan melihat begitu banyak ungkapan belasungkawa atas kehilangan besar dalam arena penelitian biblika. Kuantitas dan kualitas karya-karya yang diwariskannya beserta dengan sejumlah kenangan akan kepribadian dan keyakinannya memang meninggalkan kesan mendalam.

Riwayat hidup Martin Hengel cukup unik. Seperti pernah dituturkannya kepada kami di Cambridge, dia termasuk pendatang yang agak kesiangan dalam dunia studi biblika. Minatnya amat berseberangan dengan kepentingan ayahnya, seorang pengusaha pabrik pakaian dalam perempuan! Martin menggantikan kedudukan ayahnya sampai akhir hidupnya sementara tetap berkarya sebagai teolog dan pendeta yang memfokuskan penelitiannya pada interaksi antara Yudaisme, Hellenisme dan Kekristenan mula-mula. Minat ini juga yang mendorongnya menulis disertasi pasca-doktoral (Habilitationschrift) di Universitas Tübingen almamater tempatnya berkarya sampai menapaki masa emeritus.

Dalam suatu diskusi di Cambridge, Prof. Hengel pernah mengeluhkan terkikisnya minat terhadap studi-studi klasik yang mendasar. Katanya, kebanyakan orang sekarang ini ingin menghasilkan karya-karya serba instan. Fenomen ini sedang berlangsung di seluruh dunia penelitian biblika di mana berlaku prinsip “hukum rimba”: Publish or Perish (kurang lebih berarti “Teruslah menerbitkan atau habislah riwayat akademismu”). Berulang kali, Hengel menegaskan, karya-karya berkualitas harus dibangun atas data solid yang dihimpun dan dianalisis dengan cermat kalau tidak ingin membangun rumah di atas pasir. Seperti tecermin dari tulisan-tulisannya yang tebal-tebal, sering lebih dari 500 halaman, semuanya didukung oleh kepadatan informasi dan kecermatan pengamatan.

Hengel bertutur, ketika ia memulai karir akademisnya, Rudolf Bultmann adalah nama besar yang tidak dapat diganggu gugat kalau ingin tetap berada dalam lingkaran dunia penelitian biblika di seluruh universitas Jerman. Menubruk tembok besar itu sama dengan bunuh diri akademis. Namun, seperti yang dibuktikan oleh jejak rekam penelitiannya, kita dapat menggali terowongan di bawah dan sekitar tembok untuk memperlihatkan jalan alternatif ke depan. Apalagi, tembok itu semakin nyata memperlihatkan berbagai retak bahkan lubang.

Demikianlah yang dilakukannya dalam studi teks-teks Keyahudian, Hellenisme dan Kekristenan. Selalu dengan data historis yang kokoh, meski tidak selalu melahirkan kesimpulan-kesimpulan yang terkesan “hebat” atau “mengguncangkan”. Mengapa? Karena menurut Hengel, dunia studi biblika, seperti juga studi sejarah pada umumnya, adalah dunia yang dibangun atas “perkiraan, dugaan” (conjecture).

Prof. Martin Hengel terkenal sebagai pakar senior yang menghargai generasi muda yang sedang berjuang menghasilkan karya-karya awal. Ia selalu memberi dorongan agar karya-karya ini menjadi jembatan kokoh bagi pengembangan karir akademis berikutnya. Beberapa mahasiswa pasca-doktoral bimbingannya mengagumi sikap ilmiahnya yang amat berdisiplin. Sebelum sampai kepada kesimpulan-kesimpulan “besar”, Hengel menyarankan, sebaiknya menarik kesimpulan-kesimpulan yang lebih bersahaja saja namun padat data. Hasil penelitian seperti ini pun tetap dapat dipertanyakan dan disempurnakan tetapi tidak dapat ditepis dengan mudah. Mungkin ini dapat dibandingkan dengan beberapa karya “sensasional” beberapa pakar biblika yang belakangan ini dilemparkan sebagai bola panas ke hadapan publik.

Hengel memiliki banyak sahabat dari berbagai belahan bumi. Termasuk di antaranya adalah rekan-rekannya di Universitas Cambridge seperti Prof. Graham Stanton dan Prof. William Horbury. Sebagai pengakuan atas karya-karyanya, ia dianugerahi doktor honoris cause (“Doctor of Divinity”) pada tahun 1989, bersamaan dengan mahafisikawan Stephen W. Hawking dan mantan Sekjend PBB, Javier Pérez de Cuéllar!

Walau hanya sebentar, perkenalan singkat dan percakapan dengan Prof. Hengel cukup memberi kesan untuk dikenang. Seorang pakar mumpuni namun tetap bersahaja. Dalam dirinya “jurang” yang sering teramati antara dunia ilmu dan iman ternyata tidak perlu menjadi batu sandungan. Wajar saja, semasa hidupnya dan bahkan sesudahnya, banyak yang memandangnya sebagai figur teladan bagi mereka yang ingin bersikap terbuka meretas jalan dalam dunia penelitian biblika tanpa mengorbankan integritas imannya.***
 

Foto Saya
Nama:

Menikah dengan Marta Romauli Simamora, dikaruniai tiga putra: Tobias, Theosis dan Timaeus. Melayani sebagai pendeta di Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI, berpusat di Pematangsiantar) dan konsultan ahli di Lembaga Alkitab Indonesia (LAI). Studi lanjut dalam filologi dan tafsir Kitab Suci di Union Theological Seminary in Virginia, USA (Th.M./1995), Pontificium Institutum Biblicum, Roma (1997-98), Ecole Biblique, Yerusalem, Universitas Tesalonika, Yunani (2000). Menyelesaikan studi doktoral di Fakultas Studi Oriental, Cambridge University, UK (PhD/2003), dengan disertasi mengenai Septuaginta, yakni Kitab Suci Ibrani yang pertama kali diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani. Studi komplementer dalam bidang linguistik di Australian National University, Canberra (GradDipl/2007).

Arsip
Mei 2008 / Agustus 2008 / September 2008 / Januari 2009 / April 2009 / Oktober 2009 / Juni 2012 / Juli 2012 / Oktober 2012 / Februari 2013 / Mei 2013 /


Powered by Blogger

Berlangganan
Postingan [Atom]