Anwar Tjen Online
Minggu, 17 Juni 2012
 

Saudara Terkasih?
(Terbit di Rubrik Bahasa, Kompas, 11 Juni 2012) 

Bahasa terjemahan, apalagi terjemahan Kitab Suci, senantiasa menyisakan ruang interpretasi. Membahasakannya dengan “gerhana rangkap” Paul Ricoeur, kompleksitasnya dapat diungkap begini: Penulis tak hadir saat penerjemahan dan pembacaan, penerjemah tak hadir saat penulisan dan pembacaan, pembaca pun tak hadir  saat penulisan dan penerjemahan.
Dalam gerhana rangkap itu, penerjemah harus menimbang sekian banyak pilihan dalam pengalihan bahasa: ketepatan makna yang terinterpretasi dari teks, kejelasan dan kewajaran padanannya dalam bahasa penerima, termasuk pilihan leksikal pemadan makna. Proses ini diperpelik oleh perubahan bahasa dari masa ke masa.
            Bukan sekadar berteori! Demikianlah yang jamak terjadi dalam dapur penerjemahan Alkitab. Terbitan yang digelari “Terjemahan Baru” dikerjakan sejak tahun 1952 ketika Bahasa Indonesia sedang bertumbuh pesat. Mengapa para penerjemah memilih Saudara yang kekasih alih-alih Saudara yang terkasih? Wallahualam. Sebagai penerus karya mereka, perkenankanlah saya berinterpretasi dengan lensa praduga tak bersalah.
            Prefiks ke- digunakan baik sebagai pembentuk nomina maupun pembentuk verba. Kekasih sebagai bentukan nomina tampak kaprah. Lain halnya bila didudukkan dalam frasa Saudara yang kekasih. Ini dinilai salah kaprah, “melampaui kaidah sintaksis”, oleh Mulyo Sunyoto, Kompas, 4 Mei 2012.
Bagaimana peran prefiks ke- sebagai pembentuk verba? Ada baiknya juga dilirik. Pertama, prefiks ke- membentuk verba pengungkap sesuatu yang dialami (tanpa sengaja atau dengan tiba-tiba, semisal ketabrak). Kedua, prefiks ke- juga merupakan pembentuk verba bermodalitas kemampuan (semisal kebaca). Tidak sulit melihat tautannya dengan prefiks ter-, sehingga tertabrak dan terbaca nyaris setara dengan ketabrak dan kebaca. Bedanya, prefiks ter- lebih luas cakupan semantisnya. Dalam kata terduduk, misalnya, kedua prefiks ini tak dapat dipertukarkan.
Persoalannya terkait dengan interpretasi. Jika prefiks ke- dipindai sebagai pembentuk verba, kekasih dalam frasa Saudara yang kekasih tak serta merta melanggar kaidah gramatikal. Titik beratnya terletak pada masalah semantis. Saudara yang dapat dikasihi? Rasanya kurang tepat mengungkapkan maksud penulis di balik adjektiva agapetos ‘yang sangat dikasihi/dicintai/disayangi’, bentukan dari verba Yunani berakar agap- ‘mengasihi, mencintai, menyayangi’.
Namun, terkasih dalam frasa Saudara yang terkasih pun tak bebas masalah. Jika terkasih dimaknai sebagai bentukan dari prefiks superlatif ter- dan nomina kasih, bukankah pasangan ini luar biasa langka, kalau bukan suatu anomali? (Boleh jadi, itulah sebabnya para penerjemah memilih kekasih.) Sinonimnya tersayang/tercinta terbentuk secara wajar dari adjektiva. Sayangnya, makna keduanya kurang cocok menggambarkan jenis hubungan “kasih” di antara para penulis kuno dan pembacanya.
Simpulan sementara: kekasih dan terkasih yang kita soroti tampaknya terlahir masing-masing dari interseksi antara prefiks ke- dengan ter-,  dan asosiasi antara kasih dengan cinta/sayang. Dalam kadar kegramatikalannya, terkasih tak lebih kaprah daripada kekasih, tetapi ada benarnya kekasih paling sering diperlakukan sebagai nomina.
Dalam Perjanjian Baru edisi kedua (1997), Saudara yang kekasih telah diganti oleh Saudara yang terkasih dengan mempertimbangkan asosiasi yang kian lazim di antara cinta/kasih/sayang. Tentu ada harga yang harus dibayar. Seperti yang disadari dalam wacana hermeneutis kini, sekali melesat, sebuah teks tak kebal terhadap (salah) interpretasi. Saudara yang terkasih, apa boleh buat, dapat bermakna superlatif. Semoga saja tak sampai diartikan sebagai yang dikasihi tanpa sengaja, tanpa upaya!

ANWAR TJEN, bekerja di Lembaga Alkitab Indonesia
Belajar filologi di Universitas Cambridge
 

Foto Saya
Nama:

Menikah dengan Marta Romauli Simamora, dikaruniai tiga putra: Tobias, Theosis dan Timaeus. Melayani sebagai pendeta di Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI, berpusat di Pematangsiantar) dan konsultan ahli di Lembaga Alkitab Indonesia (LAI). Studi lanjut dalam filologi dan tafsir Kitab Suci di Union Theological Seminary in Virginia, USA (Th.M./1995), Pontificium Institutum Biblicum, Roma (1997-98), Ecole Biblique, Yerusalem, Universitas Tesalonika, Yunani (2000). Menyelesaikan studi doktoral di Fakultas Studi Oriental, Cambridge University, UK (PhD/2003), dengan disertasi mengenai Septuaginta, yakni Kitab Suci Ibrani yang pertama kali diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani. Studi komplementer dalam bidang linguistik di Australian National University, Canberra (GradDipl/2007).

Arsip
Mei 2008 / Agustus 2008 / September 2008 / Januari 2009 / April 2009 / Oktober 2009 / Juni 2012 / Juli 2012 / Oktober 2012 / Februari 2013 / Mei 2013 /


Powered by Blogger

Berlangganan
Postingan [Atom]