Anwar Tjen Online
Minggu, 19 Mei 2013
  CORAM DEO, CORAM MUNDO



CORAM DEO, CORAM MUNDO
“Menghadap Allah, Menghadapi Dunia”

Ilustrasi pada halaman terdepan dengan tepat menggambarkan orientasi dan sikap yang seharusnya diyakini dan dihayati para pelayan Tuhan: Menghadap Allah yang tersalib itu dengan kesadaran akan ketidaklayakan diri kita untuk berdiri di hadapan-Nya. Di hadapan Allah, coram Deo, kita semua semestinya mengaku, “kami sekalian seperti seorang najis dan segala kesalehan kami seperti kain cemar” (Yes 64:6).

Kontras antara warna putih dan hitam menegaskan siapa sesungguhnya para pelayan tahbisan itu di hadapan Tuhannya. Sebagai orang berdosa, ia hanya bergantung kepada kemurahan Allah yang memungkinkannya berdiri penuh keberanian di hadirat Yang Mahakudus (Ibr 10:22). Kenyataan inilah yang sering diungkapkan secara padat dalam frasa simul iustus et peccator (“sekaligus orang yang dibenarkan dan orang yang berdosa”). Coram Deo, bila kita melihat siapa diri kita yang berlumur dosa, kita sewajarnya malu dan merasa tak layak menerima pengutusan sebagai pelayan firman dan sakramen kudus-Nya. Namun, syukurnya, di hadapan salib Kristus, coram cruce, Bapa Mahakudus itu, tatkala melihat diri kita, melihat Putra-Nya yang dengan tekun telah memikul salib-Nya ganti kita (Flp 2.8).

Senafas dengan itu, dapat dikatakan, teologi yang semestinya menjiwai pelayanan para pendeta adalah theologia crucis (“teologi salib”). Seperti yang ditegaskan Luther, justru di saliblah Allah menyatakan siapa diri-Nya dengan cara yang menjungkirbalikkan harapan dan proyeksi manusia tentang dirinya dan tentang diri-Nya. Versi sebaliknya adalah theologia gloriae (“teologi kemuliaan”) yang memang lebih sesuai dengan cita-cita dan pandangan dunia tentang Allah dan tentang dirinya.  Adalah panggilan dan pengutusan para pelayan Tuhan untuk menjadi rekan sekerja Allah melucuti ilah-ilah palsu melalui pemberitaan tentang Salib yang selalu merupakan batu sandungan dan kebodohan menurut sistem nilai dan keyakinan  mana pun (1 Kor 1:22-23).

Coram Deo, coram mundo, dengan menghadap Allah, para utusan-Nya dipanggil untuk berani menghadapi dunia yang terasing dari Allah dan tak henti-hentinya menciptakan “tuhan-tuhan” yang lebih cocok dengan selera dan dapat dikendalikan seperti berhala (demikian Kosuke Koyama). Tidak mengherankan, di hadapan tuhan-tuhan demikian, manusia terlalu sering memasang topeng kesalehan palsu dan tak segan-segan mengkhianati hati nuraninya. Bahkan, sambil menyebut nama Tuhan pun, ia tak segan menginjak-injak martabat sesamanya, dan atas nama keserakahan, menjarah alam yang menghidupinya.

Jika demikian, apa yang menjadi dasar keyakinan dan sumber kekuatan yang meneguhkan kita dalam mission impossible  ini? Tak lain daripada doa Yesus sendiri bagi para murid-Nya! Mereka bukan dari dunia tetapi diutus ke dalam dunia (Yoh 17.14-18). Boleh jadi, berbeda dengan apa yang dibayangkan oleh sebagian orang, jalan para pelayan gerejawi bukanlah jalan berlapis karpet merah dan bertabur bunga. Kerap kali, seperti yang disaksikan oleh Paulus, jalan itu ditandai dengan penderitaan dan kematian Yesus (2 Kor 4.7-11). Namun, kita boleh yakin, itulah jalan pembebasan yang memerdekakan kita dari gambaran palsu tentang kemuliaan, kekuasaan, dan kelimpahan yang menjerat anak-anak manusia ke dalam penjara ilusi dan ambisi.

Dengan mata yang tertuju pada salib, kita melangkah bersama, bahu-membahu, untuk menjalankan tugas kesaksian dan pelayanan kita. Tak jarang, berbagai jebakan, rintangan, pelecehan hingga aneka bentuk pengkhianatan membayangi sepanjang jalan yang terhampar di  depan. Dari manakah kekuatan itu kalau bukan dari fakta berikut: harta itu kita miliki dalam bejana tanah liat, supaya nyata, “kekuatan yang melimpah-limpah itu berasal dari Allah, bukan dari diri kami.” (2 Kor 4:7). Kalau bukan karena Kristus telah bangkit dan menang atas segala kuasa yang memperbudak kita, sungguh tak terbayangkan bagaimana kita dapat menjawab “ya” atas panggilan Dia yang dengan tekun telah menanggung semuanya sampai berdarah-darah (Ibr 12:3-4)!     (Pdt. Anwar Tjen)

 

Foto Saya
Nama:

Menikah dengan Marta Romauli Simamora, dikaruniai tiga putra: Tobias, Theosis dan Timaeus. Melayani sebagai pendeta di Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI, berpusat di Pematangsiantar) dan konsultan ahli di Lembaga Alkitab Indonesia (LAI). Studi lanjut dalam filologi dan tafsir Kitab Suci di Union Theological Seminary in Virginia, USA (Th.M./1995), Pontificium Institutum Biblicum, Roma (1997-98), Ecole Biblique, Yerusalem, Universitas Tesalonika, Yunani (2000). Menyelesaikan studi doktoral di Fakultas Studi Oriental, Cambridge University, UK (PhD/2003), dengan disertasi mengenai Septuaginta, yakni Kitab Suci Ibrani yang pertama kali diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani. Studi komplementer dalam bidang linguistik di Australian National University, Canberra (GradDipl/2007).

Arsip
Mei 2008 / Agustus 2008 / September 2008 / Januari 2009 / April 2009 / Oktober 2009 / Juni 2012 / Juli 2012 / Oktober 2012 / Februari 2013 / Mei 2013 /


Powered by Blogger

Berlangganan
Postingan [Atom]