Saudara Terkasih?
(Terbit di Rubrik Bahasa, Kompas, 11 Juni 2012)
Bahasa terjemahan,
apalagi terjemahan Kitab Suci, senantiasa menyisakan ruang interpretasi. Membahasakannya
dengan “gerhana rangkap” Paul Ricoeur, kompleksitasnya dapat diungkap begini: Penulis
tak hadir saat penerjemahan dan pembacaan, penerjemah tak hadir saat penulisan
dan pembacaan, pembaca pun tak hadir
saat penulisan dan penerjemahan.
Dalam gerhana rangkap itu, penerjemah harus menimbang sekian banyak pilihan
dalam pengalihan bahasa: ketepatan makna yang terinterpretasi dari teks,
kejelasan dan kewajaran padanannya dalam bahasa penerima, termasuk pilihan leksikal
pemadan makna. Proses ini diperpelik oleh perubahan bahasa dari masa ke masa.
Bukan sekadar berteori! Demikianlah yang jamak
terjadi dalam dapur penerjemahan Alkitab. Terbitan yang digelari “Terjemahan
Baru” dikerjakan sejak tahun 1952 ketika Bahasa Indonesia sedang bertumbuh
pesat. Mengapa para penerjemah memilih Saudara
yang kekasih alih-alih Saudara yang
terkasih? Wallahualam. Sebagai penerus karya mereka, perkenankanlah saya berinterpretasi
dengan lensa praduga tak bersalah.
Prefiks ke- digunakan baik sebagai pembentuk nomina maupun pembentuk verba.
Kekasih sebagai bentukan nomina tampak
kaprah. Lain halnya bila didudukkan dalam frasa Saudara yang kekasih. Ini dinilai salah kaprah, “melampaui kaidah
sintaksis”, oleh Mulyo Sunyoto, Kompas, 4
Mei 2012.
Bagaimana peran prefiks ke- sebagai
pembentuk verba? Ada baiknya juga dilirik. Pertama, prefiks ke- membentuk verba pengungkap sesuatu yang
dialami (tanpa sengaja atau dengan tiba-tiba, semisal ketabrak). Kedua, prefiks ke-
juga merupakan pembentuk verba bermodalitas kemampuan (semisal kebaca). Tidak sulit melihat tautannya
dengan prefiks ter-, sehingga tertabrak dan terbaca nyaris setara dengan ketabrak
dan kebaca. Bedanya, prefiks ter- lebih luas cakupan semantisnya. Dalam
kata terduduk, misalnya, kedua
prefiks ini tak dapat dipertukarkan.
Persoalannya terkait dengan interpretasi. Jika prefiks ke- dipindai sebagai pembentuk verba, kekasih dalam frasa Saudara yang kekasih tak serta merta melanggar kaidah gramatikal. Titik
beratnya terletak pada masalah semantis. Saudara yang dapat dikasihi? Rasanya kurang tepat mengungkapkan maksud penulis di
balik adjektiva agapetos ‘yang sangat
dikasihi/dicintai/disayangi’, bentukan dari verba Yunani berakar agap- ‘mengasihi, mencintai, menyayangi’.
Namun, terkasih dalam frasa Saudara yang terkasih pun tak bebas masalah.
Jika terkasih dimaknai sebagai
bentukan dari prefiks superlatif ter- dan
nomina kasih, bukankah pasangan ini
luar biasa langka, kalau bukan suatu anomali? (Boleh jadi, itulah sebabnya para
penerjemah memilih kekasih.) Sinonimnya
tersayang/tercinta terbentuk secara wajar
dari adjektiva. Sayangnya, makna keduanya kurang cocok menggambarkan jenis hubungan
“kasih” di antara para penulis kuno dan pembacanya.
Simpulan sementara: kekasih dan
terkasih yang kita soroti tampaknya terlahir masing-masing dari interseksi antara
prefiks ke- dengan ter-,
dan asosiasi antara kasih dengan
cinta/sayang. Dalam kadar
kegramatikalannya, terkasih tak lebih
kaprah daripada kekasih, tetapi ada
benarnya kekasih paling sering
diperlakukan sebagai nomina.
Dalam Perjanjian Baru edisi kedua (1997), Saudara yang kekasih telah diganti oleh Saudara yang terkasih dengan mempertimbangkan asosiasi yang kian
lazim di antara cinta/kasih/sayang. Tentu
ada harga yang harus dibayar. Seperti yang disadari dalam wacana hermeneutis
kini, sekali melesat, sebuah teks tak kebal terhadap (salah) interpretasi. Saudara yang terkasih, apa boleh buat,
dapat bermakna superlatif. Semoga saja tak sampai diartikan sebagai yang
dikasihi tanpa sengaja, tanpa upaya!
ANWAR TJEN, bekerja di Lembaga Alkitab
Indonesia
Belajar filologi di
Universitas Cambridge