Anwar Tjen Online
Sabtu, 20 Oktober 2012
  KONSULTASI TEOLOGI NASIONAL 2011

KONSULTASI TEOLOGI NASIONAL 2011

Sinopsis Pengantar Diskusi di Kantor Sinode GKI Jabar, Sabtu, 20 Oktober 2012

(oleh Anwar Tjen, anggota Komisi Teologi PGI)


Konsultasi Teologi Nasional (KTN) bertemakan "Meretas Jalan Menuju Perdamaian, Keadilan, dan Keutuhan Ciptaan" dilangsungkan dari 31 Oktober – 4 November 2011 di Cipayung. Dalam lintasan sejarah, KTN 2011 adalah yang kelima di antara konsultasi-konsultasi teologi yang diselenggarakan oleh DGI/PGI sejak 1970. Di samping itu, masih banyak lagi seminar, lokakarya, studi dan kajian dengan topik dan skala yang berbeda-beda dalam berbagai kesempatan, termasuk juga dalam sidang-sidang DGI/PGI.[1] Rupanya selalu ada prakarsa dan upaya untuk menggumuli dan merespon berbagai tantangan dalam konteks kehadiran, tugas dan panggilan gereja sebagai umat Tuhan yang diutus ke tengah-tengah “dunia”, atau lebih spesifik lagi, NKRI. KTN 2011 yang diikuti oleh 168 orang dari berbagai belahan Indonesia dan mewakili berbagai elemen gereja dan masyarakat menambah lagi satu mata rantai dari rangkaian proses pergumulan teologis yang sudah panjang dilakukan sejak DGI lahir (1950).
Seberapa urgen atau signifikan mata rantai yang satu ini merupakan pertanyaan yang wajar diajukan, meski tak mudah untuk dijawab. Seperti halnya konsultasi-konsultasi teologi sebelumnya, sejarah dan para pelakunyalah yang berhak menentukan signifikansi dan relevansi konsultasi demikian. Yang jelas,  hasil-hasil KTN 2011 telah didokumentasikan dan diterbitkan oleh PGI (Meretas Jalan Menuju Perdamaian, Keadilan dan Keutuhan Ciptaan; Jakarta, 2012). Dalam Kata Pengantar MPH-PGI, disebutkan bahwa hasil studi bersama ini dipersembahkan  kepada “gereja-gereja di Indonesia, Sekolah Teologi, pemerhati, praktisi, dan para pihak yang concern dengan pergumulan teologi di Indonesia” (hl. vi). Pastilah ada harapan agar proses ini tidak cuma menjadi suatu persembahan yang percuma.
            Berikut beberapa butir hasil-hasil pergumulan teologis bersama yang berlangsung dalam interaksi-interaksi selama KTN 2011.

Meretas Jalan Menuju KPKC
Dari mana kita memulai perziarahan teologis ini? Meneruskan semangat yang telah dimulai sejak konsultasi teologi pertama (Pergumulan Rangkap, 1970) di Sukabumi, konteks keberadaan gereja-gereja dengan segala peluang dan tantangannya itulah yang mendorong umat Tuhan untuk terus “berteologi”, mendengar sapaan Tuhan, bertanya secara otentik dan merumuskan respons dalam keterlibatan dengan konteksnya. Tidak ada yang baru di bawah kolong langit menyangkut proses ini, karena demikianlah yang senantiasa terjadi dalam perjumpaan Tuhan dengan umat-Nya di panggung sejarah. Kita dapat menyimaknya mulai dari baris pertama hingga baris terakhir Alkitab kita.
Dalam setiap babak sejarah, perjumpaan Tuhan dengan umat-Nya mengambil tempat dalam konteks budaya, agama, sosio-politik dan ekonomi yang spesifik, berikut dengan persoalan dan keprihatinannya yang nyata. Teologi-teologi yang teramati dari berbagai bagian Kitab Suci memperlihatkan kepada kita pergeseran paradigma yang terjadi dalam perjumpaan Tuhan dan umat-Nya di panggung sejarah, suatu dimensi inkarnasional yang memuncak pada Logos yang mendaging dan menyejarah itu.
Menggunakan kategori spasial, misalnya, dimensi horizontal dan vertikal sesungguhnya terjalin tanpa terpisahkan dalam penghayatan dan pengakuan umat akan sapaan Tuhan dalam situasinya yang berbeda-beda. Perbedaan antara tradisi kenabian dan tradisi hikmat dalam Alkitab Ibrani adalah sebuah ilustrasi sederhana tentang hal ini. Entah gerak itu dimulai dari atas atau dari bawah, kedua-duanya terbukti memiliki tempat yang sah dan menyapa umat Tuhan secara otoritatif dalam pergumulan rangkapnya, baik dengan Pencipta maupun dengan ciptaan-Nya. Dapat dikatakan, kepelbagaian pendekatan dan kreativitas berteologi menemukan dasar dan modelnya dalam Alkitab sendiri.
Apa yang disampaikan oleh A.A. Yewangoe tentang konsultasi teologi pertama di Sukabumi (1970) merupakan sebuah contoh menarik mengenai pendekatan yang diambil dalam forum berteologi. Menurut catatan notulen, para peserta tidak disuguhi ceramah melainkan disodori kertas kosong untuk diisi dengan apa yang mereka lihat sebagai kebutuhan dan pergumulan gereja kala itu. Lalu dari catatan-catatan ini, konsultasi teologi dilangsungkan dan hasilnya merupakan suatu koreksi yang perlu terhadap tradisi pietisme yang diwariskan para zendeling. Dokumen Pergumulan Rangkap yang dihasilkan, menurut Yewangoe, mempunyai pengaruh yang kuat pada Sidang Lengkap VII DGI di Pematangsiantar (1971) yang bertemakan: “Diutus ke dalam Dunia” dengan sub-tema: “Partisipasi Kristen dalam Pembangunan”.[2]
Meski mengambil pendekatan yang berbeda, KTN 2011 toh didorong oleh keprihatinan yang serius mengenai masalah-masalah besar yang tengah dihadapi oleh bangsa kita. Kemiskinan, korupsi, lemahnya penegakan hukum, meningkatnya aksi-aksi teror hanyalah beberapa contoh konkret di antara daftar panjang persoalan yang menuntut penyelesaian. Ironisnya, semua ini terjadi di tengah-tengah maraknya segala kegiatan keagamaan dalam kehidupan umat di negeri ini.
Agama-agama (baca: umat beragama) kelihatan giat sekali, tidak ketinggalan dengan simbol-simbolnya yang turut memadati ruang publik. Siapa saja yang mengamati, meski hanya sekilas, gerak kehidupan beragama di Indonesia, mudah memperoleh kesan betapa pentingnya peran agama-agama dalam kehidupan bangsanya. Namun, kesan ini gampang berubah menjadi kritik, kalau bukan sikap sinis. Tidak sulit melihat alasannya. Seperti yang diistilahkan oleh A.S. Maarif, gereja, pura, masjid, kelenteng dan tempat ibadah lainnya tetap ramai, namun kehidupan sosio-etis bangsa ini makin compang-camping.[3] Tidak hanya itu, kita masih mewarisi beban sejarah yang terkait dengan ikatan-ikatan primordial yang sudah lama dinubuatkan oleh para pemikir bervisi profetis. Sebut saja apa yang ditengarai oleh Eka Darmaputera seperempat abad lalu: “Bhinneka Tunggal Ika berarti bahwa bahaya disintegrasi merupakan ancaman yang amat nyata, namun sekaligus bukanlah sesuatu yang mustahil ... sementara keanekaragaman merupakan dan akan tetap merupakan fakta yang tak dapat dipungkiri, kesatuan juga tetap dan akan tetap menjadi masalah.”[4]
Situasi segenting itulah yang mendorong Komisi Teologi merumuskan secara lebih spesifik agenda utama konsultasi sebagai upaya peretasan jalan menuju Perdamaian, Keadilan, dan Keutuhan Ciptaan (KPKC). Tema ini tentu tidak baru lagi, tetapi juga tidak akan pernah basi. Kritik para nabi, ajaran Yesus dan para rasul-Nya berulang kali menegaskan kembali urgensi masalah-masalah “klasik” ini (mis. Yes 58.5-7; Mi 6.8; Mat 23.23; Rm 12.18). Kita tidak sendirian dalam perziarahan teologis yang mengusung tema besar ini. Bersama-sama gereja-gereja sejagad di bawah payung DGD, misalnya, isu-isu KPKC telah mengkristal sejak Sidang Raya DGD VI di Vancouver (1983). Tahun depan, setelah menggumuli tema “Justice, Peace, and Integrity of Creation” selama tiga dasawarsa, Sidang Raya DGD X di Busan masih berkutat pada tema yang senada: “God of Life, Lead us to Justice and Peace! Di tanah air, tema ini mendapat perhatian yang semakin intensif sejak Sidang Raya PGI XI (1989) di Surabaya.
Di bawah inspirasi oleh tema besar ini, terbersit harapan, agar persoalan-persoalan keadilan dan perdamaian mendapat aksentuasi dan urgensi baru dalam konteks bergereja, bermasyarakat dan berbangsa. Bahkan tadinya ada yang mengusulkan agar KTN 2011  mendeklarasikan status confessionis, situasi genting yang menuntut pilihan tegas tanpa kompromi, meski penuh resiko, seperti resistensi terhadap Hitler yang dirumuskan dalam Deklarasi Barmen (31 Mei 1934). Kendati tidak sampai ke titik itu, ada sense of crisis yang hendak digarisbawahi dengan mengangkat soal integrasi dan diskriminasi yang, jika tidak ditangani dengan serius, bukan mustahil dapat membuyarkan impian kita bersama sebagai satu bangsa dengan segala akibatnya. Keprihatinan ini berulang kali terungkap dalam berbagai interaksi di pleno maupun diskusi kelompok.[5]

Ecce Homo!
Sekalipun memberi perhatian besar pada masalah-masalah struktural dan berskala nasional hingga global, KTN 2011 memberi ruang bagi penegasan ulang dan pemaknaan akan  nilai manusia sebagai makhluk bermartabat yang diciptakan menurut gambar Allah. Di balik istilah-istilah  abstrak seperti kemiskinan, ketidakadilan, diskriminasi atau kekerasan, dan berbagai bentuk dehumanisasi lainnya, yang dimaksud pastilah manusia yang hidup dengan pengalaman dan keprihatinan yang nyata. Seperti yang digarisbawahi oleh Yewangoe, “persoalan kemiskinan, ketidakadilan, perdamaian, keutuhan ciptaan adalah persoalan kemanusiaan.”[6]
Manusia dalam arti yang paling hakiki dan konkret inilah yang menjadi subjek yang harus dihormati dan diperjuangkan hak-haknya untuk dapat hidup dan diberdayakan memberi sumbangsih bagi hidup bersama yang lebih manusiawi. Seperti yang ditegaskan oleh Yesus, kepentingan apa pun, termasuk agama, tidak berada di atas nilai manusia itu sendiri (bnd. Mrk 2.27). Dalam perumpamaan orang Samaria (Luk 10.25-37), misalnya, kesesamaan dengan sengaja ditegaskan melampaui kesamaan identitas atau ikatan primordial. Bagi Yesus  kesesamaan adalah keterlibatan dan tindakan menjadi “sesama” bagi korban yang tak berdaya.
Kajian mendasar yang menyentuh sisi teologis-pastoral dari manusia dibutuhkan untuk memahami kemanusiaan dalam hubungan dengan Tuhan, dengan sesamanya dan tentunya dengan dirinya sendiri. Siapakah manusia itu dan bagaimana harkat dan martabatnya dilihat secara teologis? Bagaimana ia menghadapi persoalan-persoalan yang melibatkan dirinya baik sebagai pelaku ataupun korban? Bagaimana ia melihat dirinya dalam relasi dengan yang lain?
Di balik data komprehensif yang diberikan menyangkut berbagai persoalan yang dihadapi di Indonesia, Daniel Susanto, misalnya, tetap berkeyakinan bahwa persoalan dasarnya tidak hanya terletak pada faktor-faktor eksternal seperti sistem dan implementasi hukum yang lemah melainkan juga dilema manusianya itu sendiri yang sudah dicengkeram oleh kuasa dosa. Imago Dei inilah yang dipulihkan kembali oleh Kristus, sehingga relasinya dengan Allah, sesama mahkluk dan dirinya mengalami pemulihan dan pertumbuhan.[7] Jadi, solusi untuk berbagai masalah seperti korupsi, kekerasan, bunuh diri, dan pengrusakan lingkungan hidup, memiliki akarnya dalam relasi yang dibangun dengan Tuhan lewat doa, meditasi, ibadah yang berbuah kebajikan dan kasih kepada sesama.
Aspek teologis-relasional dari manusia yang diciptakan menurut gambar Allah diberi pendasaran trinitaris lewat kajian Joas Adiprasetya yang meneropongnya melalui konsep perikhoresis, saling-masuk, saling-rangkul dan saling-memberi ruang di antara ketiga “pribadi” Ilahi.[8] Entah dalam bentuk peneladanan ataupun partisipasi dalam koinonia trinitatis, harkat dan martabat manusia dilihat dalam kerangka relasionalitas dengan Allah dan seluruh ciptaan,  sehingga perjumpaan dengan manusia adalah perjumpaan berwatak trinitatis yang menciptakan “ruang” bagi perjumpaan antar-insan dan antar-ciptaan, yang menghormati keunikan dan keberagaman. Perjumpaan perikhoretis menolak baik individualisme yang mengalineasi manusia dari sesama maupun antroposentrisme yang mengabaikan ciptaan. Salah satu implikasinya bagi relasi antar-manusia mewujud dalam terbukanya oikos bagi hospitalitas yang memungkinkan rekonsiliasi yang mentransformasi dua pihak yang tadinya asing menjadi sahabat. Ini berlaku juga dalam ranah “ekonomi”, penataan oikos, yang tanpa hospitalitas gampang berubah menjadi kapitalisasi dan diskriminasi atas manusia.
            Percakapan dalam kelompok menggaungkan urgensi dari pemahaman ulang tentang manusia secara lebih inklusif melampaui dikotomi manusia Kristen vs non-Kristen.[9] Gereja diharapkan mengkritisi wawasan yang tidak memihak nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan, termasuk tradisi misoginisnya yang meminggirkan perempuan. Gereja dan perguruan teologi diharapkan dapat menjadi wadah pembelajaran sejak dini untuk memahami siapa manusia itu, bagaimana menjadi sesama, bagaimana hidup dalam kemajemukan dan mencintai lingkungan. Dalam hal ini, nilai budaya dan kearifan lokal yang melestarikan perdamaian dengan sesama dan alam dapat dan perlu digali, salah satu unsur yang memang kurang terdengar dalam KTN 2011. Institusi-institusi keagamaan ini diminta lebih nyaring memperdengarkan suara kenabian. Bahkan, ada suara yang mengusulkan agar dilakukan penelitian atas kemungkinan campur tangan intelijen negara dalam kelompok radikal dan anarkis agama.

Lintas-Agama dan Lintas-Denominasi
Permasalahan dan peran manusia sebagai warga gereja dan masyarakat dalam relasi antar-gereja dan antar-agama menjadi fokus dalam Cluster II. Disadari bahwa kemajemukan adalah suatu keniscayaan yang terelakkan dengan sisi positif dan negatifnya. Kemajemukan dapat dilihat sebagai potensi untuk membangun kebersamaan, kerja sama, dan persaudaraan, tetapi juga berpotensi menimbulkan konflik dan permusuhan, akibat sikap eksklusif yang terbentuk atas identitas primordial atau akibat kesenjangan ekonomi.
Relasi antar-agama bukannya ditandai dengan kebersamaan untuk memperjuangkan isu-isu etis yang mendesak seperti kemiskinan, ketidakadilan, HAM, ketimpangan jender dan pengrusakan lingkungan hidup, melainkan justru kecurigaan, persaingan dan perebutan. Hubungan antar-agama masih sangat disibukkan dengan isu-isu penyebaran agama dan perpindahan lintas-agama. Situasi ini masih diperkeruh oleh berbagai manuver politik yang mengatasnamakan identitas agama, di samping identitas primordial lainnya.
Temuan Biro Penelitian dan Komunikasi PGI memperlihatkan terjadinya pengerasan identitas dan segregasi antara kelompok di berbagai belahan Indonesia, di antaranya, ada yang didukung dana transnasional Islam.[10] Ditemukan adanya praktik yang mewajibkan pengucapan dua kalimah syahadat di sekolah-sekolah. Di wilayah Timur dicurigai adanya “Islamisasi” dengan mendatangkan warga Muslim ke kantong-kantong Kristen. Di wilayah Barat, segregasi sosial semakin kuat, misalnya, dengan munculnya perumahan atau kost yang eksklusif Muslim dan penggunaan atribut keislaman di sekolah-sekolah.
Albertus Patty mensinyalir adanya faktor internal menjadi kendala membangun pluralisme, di antaranya, penafsiran Kitab Suci yang literal, misi yang agresif, prasangka akibat beban sejarah lalu, dan juga faktor eksternal yang bersifat sosio-politis seperti ketidakjelasan posisi/peran agama dalam negara-bangsa, media yang provokatif, peraturan pemerintah yang diskriminatif, keberpihakan aparat pada umat tertentu, lemahnya penegakkan hukum terhadap pelaku kekerasan agama, kecemburuan sosial akibat kesenjangan ekonomi, dan apa yang diistilahkan dengan failed state.[11] Disadari bahwa relasi antar-agama tidak cukup dibangun lewat reorientasi teologi dan memerlukan pendekatan holistik dari segi budaya, ekonomi, sosio-politik dsb. Patty sendiri mengusulkan agar kita berangkat dari definisi yang sama tentang pluralisme yang menurutnya melampaui toleransi dan menuntut komunikasi timbal-balik serta keterlibatan dalam kehidupan bersama dengan menghargai perbedaan dalam suasana terbuka.
Relasi lintas-agama diberi wajah yang lebih personal oleh Septemmy E. Lakawa melalui narasi para korban pasca-kekerasan (aftermath) dengan mengangkat konflik berdarah di desa Duma, Halmahera Utara (1999-2000).[12] Narasi pertama merupakan kesaksian seorang ibu yang mengalami dan menyaksikan pertumpahan darah dalam konflik antar-agama. Narasi kedua merupakan tuturan seorang pendeta perempuan bertoga kependetaan yang mengambil keputusan untuk mencegah konflik berdarah dengan menarik garis pembatas dan berada di antara dua pasukan. Narasi ketiga, juga oleh seorang pendeta perempuan, memberi contoh perjalanan lintas batas menembus ketakutan dan kecurigaan pasca konflik berdarah.
Perspektif “pasca” ini ditawarkan sebagai reimajinasi  pasca pluralisme yang dianggap normatif, sehingga kompleksitas relasi dapat dilihat lebih jernih melampaui hubungan-hubungan kekuasaan. Kekerasan kolektif yang serba lintas-batas (etnis, agama, geografis), seperti yang terjadi di Maluku Utara, memunculkan keraguan akan kekuatan simbolik dari identitas kolektif bernama “Indonesia”. Kesahihan Pancasila pun dapat dipertanyakan bila diperhadapkan dengan realitas kekerasan pada akar rumput, bahkan di era reformasi politik.
Tiga narasi perempuan yang menjadi survivor pada pasca kekerasan diangkat ke permukaan untuk memperlihatkan peran teologi sebagai “saksi” yang mendengar ratapan dari dalam pengalaman kekerasan komunal yang tak terkatakan. Perspektif aftermath ini diakhiri dengan catatan mengenai “improvisasi teologis” yang dilakukan komunitas Kristen Duma dengan mendirikan kuburan korban, rumah doa yang dibangun dari reruntuhan gereja dan diperuntukkan bagi semua (termasuk kaum Muslim), serta gedung gereja baru, semuanya dalam satu lokasi. Kita diajak untuk melihat betapa pengalaman pedih pun memungkinkan lahirnya narasi baru  dalam relasi lintas-agama pasca kekerasan.
Bila kita melanjutkan tinjaun kita dengan melirik relasi inter-agama atau antar-denominasi, potret yang tampak juga tidak menggembirakan. Sebut saja apa yang sedang menggejala di antara umat Kristiani dalam bentuk persaingan dan perebutan antar-kelompok, belum lagi di dalam kelompok yang sama. Benyamin F. Intan dan Jan S. Aritonang memulai paparan mereka dengan nada yang serupa, meski keragaman dan perbedaan denominasi disebutkan tak perlu terus diratapi.[13] Intan, antara lain, menggarisbawahi pentingnya dasar yang benar agar persatuan yang diharapkan tidak bersifat semu. Mengacu kepada doktrin predestinasi dalam Alkitab, ditegaskannya bahwa persoalan perpindahan lintas-gereja atau lintas-agama hak setiap individu. Dibutuhkan creative proexistence untuk merawat hubungan antar-denominasi agar gereja-gereja yang beragam hidup saling membantu melampaui sekadar hubungan tidak saling mengganggu. Intan menyesali lahirnya Peraturan Bersama Menteri (2006) dan menengarai persetujuan gereja sebagai sebentuk penegasian terhadap gereja yang keanggotaannya di bawah 90 orang dan beribadah di ruko-ruko.
Aritonang mencatat, terdapat 350 organisasi gereja di luar gereja Katolik Roma, dengan jumlah anggota sekitar 17 juta jiwa. Pertanyaan kritis dilontarkannya terkait dengan peran gereja dengan beragam denominasi itu, apakah mempunyai pemahaman yang sama terhadap sejumlah masalah besar yang melanda bangsa dan bersama-sama mengerjakan tugas besar untuk itu. Kita diajak belajar dari pengalaman tiga gereja di luar negeri yang mengambil sikap teologis dalam konteks masing-masing (Die Bekennende Kirche di Jerman, 1934; gereja di Jepang pasca Perang Dunia II; gereja-gereja di Afrika Selatan yang merumuskan resistensi terhadap apartheid dalam Dokumen Kairos, 1985). Banyak dokumen berbobot yang telah dihasilkan gereja-gereja di Indonesia, namun sayangnya belum ada dokumen gereja yang membawa perubahan signifikan dalam kehidupan bangsa dan negara kita.
Berbagai suara kritis mengenai hubungan lintas-agama dan lintas-denominasi pun diperdengarkan dalam diskusi kelompok.[14] Ada pengamatan kritis mengenai otonomi daerah yang mengakibatkan pengkotak-kotakan dan keterasingan di antara umat beragama. Polarisasi relasi antar-agama di satu pihak terjadi lewat perda-perda bermuatan agama dan di pihak lain lewat ekspansi penginjilan dan rekristenisasi. Komersialisasi agama pun teramati dalam pengurusan IMB dan pengamanan gereja. Bahkan ada yang mensinyalir, terjadi politisasi agama yang ditunggangi kepentingan pemerintah yang terkesan melakukan pembiaran terhadap kekerasan. Situasi pasca konflik antar-agama sering menimbulkan kebingungan bagaimana harus menjalin kembali relasi yang memulihkan.
Gereja sendiri dinilai lebih sibuk dengan diri sendiri dan gagal mendidik warganya untuk hidup berdampingan dalam masyarakat yang majemuk. Banyak gereja yang tampaknya puas tinggal dalam comfort zone. Dalam hubungan antar-gereja/denominasi, gereja-gereja belum menunjukkan komitmen yang sungguh-sungguh dalam gerakan oikumene. Termasuk dalam hal ini pembentukan jemaat di luar daerah sendiri dengan menabrak kesepakatan yang telah dibuat. Perebutan kekuasan di kalangan pejabat gereja kerap menjadi pemicu perpecahan dan pertambahan jumlah gereja. Ada pula yang menggunakan pendekatan yang lebih halus lewat diakonia.
Di antara usul-usul tindak-lanjut yang dikemukakan oleh kelompok-kelompok diskusi, ada seruan untuk membekali para pemimpin/pelayan umat dalam komunikasi/dialog antar-agama. Begitu pula, diusulkan kerjasama lintas-agama dan lintas-denominasi dalam penanggulan bencana dan aksi-aksi kemanusiaan, sebab  manusia lebih mungkin dipersatukan dalam penderitaan. Dalam kaitan dengan kebebasan beribadah/beragama, kita mendengar suara-suara yang menyerukan agar PBM 2006 ditinjau ulang. Juga suara-suara kritis terhadap fatwa-fatwa MUI.

Perdamaian dan Keadilan dengan Pasar
Landasan bagi percakapan seputar tema ini diletakkan oleh kajian Rm. Ignatius L. Madya Utama yang menggali pemahaman teologis-alkitabiah tentang kaum miskin, pembebasan dan panggilan menjadi gereja kaum miskin. Ini dilakukan terutama dengan menelusuri teks-teks PB (mis. Luk 6.20-21; Mrk 10.31).[15] Gerakan Yesus, menurutnya, ditujukan bagi orang-orang yang hidup di pinggiran dari segi ekonomis, sosio-politis, maupun religius. Federasi Konferensi Wali Gereja Asia, misalnya, menegaskan keberpihakan dan sambutan Gereja kepada kaum miskin, di antaranya, melalui program-program pengembangan kemanusian yang respek pada martabat dan budaya kaum miskin. Ditegaskan pula bahwa orang kaya barulah benar-benar menjadi anggota penuh Gereja bila “bersedia bertindak adil dan mengamalkan kasih terhadap kaum miskin.”[16]
Berpijak pada realitas Indonesia, kemiskinan jelaslah merupakan fakta keras yang menandai kehidupan puluhan juta (sekitar 35 juta menurut data BPS 2011),[17] bahkan ratusan juta manusia Indonesia (sekitar 100 juta menurut Bank Dunia). Samsudin Berlian memberi data yang berbeda lagi versi Human Development Report, termasuk dalam skala global.[18] Bukan saja perbedaan parameter mengukur tingkat kemiskinan yang berbeda, dalam KTN 2011, kita melihat pula perbedaan perspektif dalam melihat kemiskinan sebagai bagian atau akibat dari sistem ekonomi dan politik diberlakukan. Berlian berpendapat, sistem pasar bebaslah yang terbukti efektif dalam jangka panjang dan menghasilkan kekayaan dan kemakmuran untuk sebanyak mungkin orang asalkan sistem ini ditopang oleh sistem politik demokratis yang juga terbukti paling efektif dan bertahan lama.[19] Tugas gereja dalam ranah ini diistilahkannya dengan keterlibatan cerdas-berhikmat dengan turut memastikan agar kebijakan ekonomi mendorong penciptaan kekayaan dan kebijakan politik yang diambil berpihak kepada sebagian besar rakyat sehingga tersedia peluang dan dukungan bagi rakyat untuk meraih kesejahteraan dan kemakmuran.
            Dalam kajian Dawam Rahardjo, ekonomi berkeadilan lebih spesifik diartikan sebagai ekonomi pasar berkeadilan (social market economy) yang lahir di Jerman pasca Perang Dunia II. Titik tolaknya adalah gagasan ekonomi liberal atau ekonomi pasar bebas yang dilembagakan ke dalam kelembagaan hukum untuk melindungi kebebasannya agar sistem bisa berkelanjutan dan pencapaian tujuan bisa dilakukan secara sistematis. Sistem ekonomi berkeadilan perlu dipikirkan secara berlapis, pertama-tama sebagai kombinasi antara individualisme dan altruisme yang dalam agama Islam, misalnya, diajarkan lewat doktrin amal saleh. Pada tingkat individu berlaku azas liberalisme yang memberi kesempatan bagi setiap orang untuk menunaikan hak-hak asasinya. Namun, politik kesejahteraan yang melibatkan peran negara juga dipandang perlu untuk menjamin kesejahteraan karena masalah kemiskinan yang disisakan oleh sistem kapitalisme. Untuk Indonesia, Raharjo menggarisbawahi azas kekeluargaan (Ps 33 UUD 45), dan negara berkewajiban mengatur perekonomian dan memberdayakan sumber daya alam bagi kemakmuran rakyat, serta memberi jaminan bagi fakir miskin dan anak-anak terlantar (Ps 34).[20]
            Di ujung lain dari spektrum perspektif ekonomi yang dibicarakan, Rudiyanto dengan memanfaatkan analisis Marxis mengeritik sistem kapitalis yang “secara inheren, sistemik, struktural tidak adil” di mana modus produksinya tidak demokratis karena tergantung pada siapa yang memegang kepemilikan, akses, kontrol atas alat-alat produksi atau alat-alat penciptaan kemakmuran masyarakat.[21] Di Indonesia keadaannya diperparah dengan lahirnya kelas borjuis dari perkawinan imperialisme dan feodalisme yang menikmati gadaian sumber-sumber daya alam dan rakyat, berikut dengan korupsi, manipulasi dan mafia oligarki. Bagi Rudiyanto, panggilan bagi umat Kristiani untuk mengikuti jejak Yesus dari Nazaret, yang mirip dengan kebanyakan, kita termasuk lapisan borjuis kecil (“kelas menengah”). Itu berarti komitmen etis-politis berupa preferential option for the poor and the oppressed dan dalam bentuk konkretnya berupa pendampingan bagi kelas buruh, kaum tani, kaum miskin kota, dan kaum tertindas lainnya.[22]
            Terkait secara langsung atau tidak langsung dengan ketiga bingkai konseptual yang diajukan, studi kasus yang kaya data oleh Sri Palupi menampilkan ketimpangan yang terjadi dalam bentuk pemiskinan dan esklusi sosial kelompok marjinal dalam berbagai kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Untuk menyebut beberapa fakta saja: produk undang-undang 90% berbicara tentang politik dan pemekaran daerah. Angka kemiskinan pun diberi pencitraan politis. Angka 35 juta versi BPS didasarkan pada garis kemiskinan Rp. 211.726/bulan.[23] Anggaran studi banding 8 anggota DPR ke Yunani (2010) Rp. 1,5 milyar (setara dengan jamsostek 25.000 orang miskin). Anggaran penertiban di DKI (2010) Rp. 183 milyar, sedangkan anggaran pelatihan orang miskin Rp. 50 juta.
            Palupi menyebut beberapa faktor penyebabnya, antara lain, pemiskinan organisasi, solidaritas, komitmen, pertarungan nilai semisal pornografi yang lebih menarik perhatian daripada kasus busung lapar. Dominasi modal asing lewat lembaga-lembaga finansial seperti World Bank dan IMF, dan juga NGO internasional. Solusi yang diusulkan oleh Palupi, antara lain, adalah lewat pengorganisasian masyarakat dan pemupukan solidaritas, terutama kelas menengah dan bawah. Untuk menjadi bagian dari solusi bangsa, gereja dituntut untuk mentransformasi diri agar tidak terasing dari masyarakat.
            Dalam bidang pelayanan kesehatan, Sri Bayu Selaadji menyajikan contoh-contoh konkret dari pemberdayaan warga GMIT Maktiha di Kab. Belu, NTT, dan para ibu rumah tangga di Waiterang, Kab. Sikka, NTT, melalui CD Bethesda.[24] Pemberdayaan yang dilakukan berorientasi pada penguatan berbasis potensi lokal, dan dilihat secara holistik dalam kaitan dengan berbagai aspek yang bertujuan membebaskan masyarakat dari kemiskinan dan ketidakadilan. Warga masyarakat yang tadinya sulit memperoleh pelayanan kesehatan karena miskin, melalui Usaha Bersama Simpan Pinjam, mengorganisasi dirinya untuk saling membantu dalam semangat solidaritas, swadaya dan kesetaraan. Proses demikian terbukti berhasil karena sistem yang dibangun transparan akuntabel, dan tepercaya.
            Interaksi dalam pleno maupun diskusi kelompok mengukuhkan fakta kemiskinan sebagai akibat ketidakadilan sistemis. Sumber daya alam yang dikuras habis-habisan seperti yang terjadi di Freeport merupakan contoh nyata keputusan politik yang tidak memihak rakyat.[25] Gereja tidak boleh diam dan mencermati tindakannya di tengah-tengah masyarakat supaya tidak terjebak mendukung pelaku ekonomi yang korup karena menerima bantuan dari perusahaan multinasional. Ada banyak kritik yang ditujukan kepada gereja baik karena ketidakpedulian pada pergumulan masyarakat maupun karena gaya hidup gereja sendiri yang konsumtif dan semakin kapitalis. Diakonia gereja lebih banyak bersifat karitatif daripada reformatif dan transformatif. Banyak harapan dan tuntutan bagi gereja untuk turut dalam pemberdayaan masyarakat bergandengan tangan, misalnya, dengan LSM-LSM. Juga diusulkan agar teologi sosial dan pemberdayaan dimasukkan dalam program studi dan pembekalan para calon pendeta. Bahkan, di antara suara-suara yang terungkap dari diskusi kelompok, ada desakan agar segera dimulai satu gerakan nasional dengan bertolak dari diskusi dan hasil KTN 2011.

Revitalisasi Gerakan Oikumene dan Pendidikan Teologi
Topik ini terjalin erat dengan keprihatinan pada relasi lintas-denominasi yang sudah ditinjau di atas. Revitalisasi memang mengandaikan pasang surut yang terjadi dalam visi dan praksis merajut rumah bersama (oikumene). Bertolak dari doa Yesus dalam Yohanes 17.21, menurut Yewangoe, visi oikumene sesuai dengan makna dasarnya (oikos ‘rumah, dunia’ dan menein ‘tinggal, mendiami’) mengajak kita untuk bergerak jauh lebih luas dari upaya mempersatukan gereja-gereja. Cakupannya tak kurang dari “dunia” agar layak untuk didiami, dan dalam wajah nasionalnya rumah itu bernama Indonesia.
            Di era 1950an ketika pada waktu Indonesia masih berupaya menemukan jati dirinya, terbentuknya DGI merupakan “sumbangan” kepada bangsa Indonesia, dan sekaligus menegaskan kesatuan bangsa dan keindonesiaan, seperti yang tampak dari kiprah tokoh-tokoh oikumenis ketika itu. Tidak ada yang mengidap split personality, sebab ada kemampuan mempertemukan iman dan kebangsaan. Yewangoe mengusulkan agar nilai-nilai Pancasila direvitalisasi dan demikian pula PNSPP (“Pembangunan Nasional sebagai Pengamalan Pancasila”). Sebagaimana dirumuskan dalam PTPB, PGI dan gereja-gereja dipanggil untuk turut memelopori pewujudan civil society (masyarakat berkeadaban) di Indonesia. Implikasinya, antara lain, penolakan UUD yang bersifat diskriminatif, seperti RUU KUB yang sedang digarap DPR. Untuk merevitalisasi gerakan oikumene yang berwawasan kebangsaan, Yewangoe menegaskan perlunya pengkaderan yang berencana.
            Japarlin Marbun (PGPI) dan Nus Reimas (PGLII), masing-masing menyoroti gerakan oikumene berwawasan kebangsaan berdasarkan visi dan tradisi yang mereka wakili. Marbun mengakui masih kurangnya perhatian kalangan Pentakosta untuk secara aktif terlibat dalam masyarakat. Kalangan Pentakosta lebih mengutamakan penginjilan dan kegiatan seperti KKR, namun ada paradoks yang terlihat dalam kiprah tokoh-tokoh Pentakosta yang justru terjun dalam politik praktis di era reformasi ini. Walau tidak menempuh cara yang lebih terstruktur seperti PGI, menurut Marbun, sejak dulu hingga kini turut memikirkan dan terlibat dalam pergumulan masyarakat, antara lain, dengan membantu korban bencana alam, gerakan menanam pohon, diakonia bagi rakyat miskin di sekitar gereja. Dalam konteks global, Marbun menyebutkan adanya kesadaran yang semakin kuat akan pentingnya keterlibatan gereja dalam rekonsiliasi dan pemberdayaan seperti yang dihasilkan The Third Laussane Congress of World Evangelization (2010) di Cape Town, Afrika Selatan. PGPI turut mendorong upaya merealisasi shalom Kerajaan Allah di Indonesia dan meyakini pentingnya badan-badan gerejawi aras nasional bersinergi mewujudkannya mengingat luas dan beratnya masalah-masalah yang dihadapi. Di antaranya, Marbun menginventarisasi, isu kepemimpinan, korupsi dan penegakan hukum, diskriminasi dan pluralisme, serta isu Papua yang tidak dapat diselesaikan dengan pendekatan keamanan saja melainkan pendekatan budaya dan agama.[26]
            Nus Reimas yang mewakili perspektif kaum Injili memulai paparannya dengan sebuah catatan etimologis tentang oikumene (oikos menes ‘rumah kediaman, atau oikos menos[27] ‘satu rumah’) dan mengartikannya lebih spesifik sebagai kehidupan yang rukun dalam sebuah rumah. Dalam tinjauan historisnya, Reimas menelusuri gerakan oikumene internasional mulai dari Konferensi Misi Internasional di Edinburgh (1910) yang semula melibatkan kaum Injili dan liberal dalam keesaan misi. Namun, kegagalan untuk menyatukan pemahaman mengenai biblical foundation akhirnya berujung pada pemisahan diri kaum Injili sejak terbentuknya WCC di Amsterdam (1948). Atas dasar yang sama pula, PGLII sebagai wadah persekutuan gereja-gereja Injili tidak secara formal organisatoris berada dalam lingkup gerakan oikumene, meski tetap mendukung secara spiritual dan memberi kontribusi berwujud pemikiran teologis dan tindakan.
PGLII berpegang pada enam doktrin utama kaum Injili dan mengakui Alkitab sebagai Firman yang tanpa salah, dan memisahkan diri dari gerakan oikumene yang ditengarai telah mengikuti filsafat dan teologi modern yang bertentangan dengan itu. Berlandaskan paham teologi dan dasar alkitabiah seperti itu, PGLII memahami gerakan oikumene berwawasan kebangsaan sebagai kesatuan rohani dan kebersamaan tindakan untuk membawa warga masyarakat agar tahu dan percaya akan Yesus Kristus. Wujud keesaan yang dibayangkan adalah keesaan dalam tindakan, bukan dalam bentuk sinode atau organisasi raksasa.

Semua pembicaraan mulai dari tema KPKC hingga revitalisasi gerakan oikumene tidak dapat tidak terkait dengan apa yang berlangsung dalam dapur pembekalan SDM di bidang teologi. Julianus Mojau (PERSETIA) mengawali sumbangan pemikirannya dengan bertolak dari Pergumulan Rangkap yang dirumuskan dalam konsultasi teologi 1970.[28] Pada satu pihak, pergumulan itu adalah pergumulan Gereja dengan Tuhannya dalam menghayati kebenaran dan anugerah dalam Yesus Kristus; pada pihak lain, merupakan pergumulan dengan kebudayaan dan masyarakat. Bagi Mojau, “revitalisasi” terdengar sebagai gugatan gereja-gereja entah dalam arti menghidupkan kembali roh konsultasi teologi tahun 1970 atau menemukan gairah da model pendidikan yang melampaui kurikulum pendidikan era 1970an. Lagi-lagi mengacu kepada konsultasi teologi 1970, tujuan pendidikan teologi dirumuskan sebagai pembinaan yang menghasilkan calon-calon pendeta jemaat yang matang berteologi dalam arti terbuka dan terampil menyoroti dan menanggapi masalah-masalah secara yang harus dihadapi secara teologis dan berdedikasi, tekun dan setia mengambil tugas dan panggilannya dalam setiap kondisi.
Meskipun pemikiran teologis yang dihasilkan dalam konteks Indonesia dapat dikatakan cukup kontekstual, progresif dan responsif terhadap pergumulan gereja dan masyarakat, ensiklopedi dan desain kurikulum di sekolah-sekolah teologi masih didominasi praktik model pembelajaran depositum fidei. Model banking ini dikritik oleh Paulo Freire sebagai model yang masih berada dalam taraf kesadaran magis dan naif. Dengan model seperti itu, teologi dan iman gampang berubah menjadi ideologi tertutup yang membunuh kesadaran kritis-emansipatoris warga jemaat dan masyarakat. Kesadaran religius pun berubah menjadi ideologi narsistis.
Mojau mengusulkan dua jalur pendidikan teologi yang menjawab tujuan yang berbeda tetapi komplementer, baik kebutuhan tenaga profesional kegerejaan maupun kebutuhan akan pendidikan keilmuan teologi yang terbuka bagi siapa saja. Kedua jalur ini sama-sama dipahami sebagai pendidikan emansipatoris bagi masyarakat, yang satu mendorong proses itu dari dalam gereja dan yang lain di luar gereja. Selaras dengan itu, dibutuhkan desain kurikulum yang berbeda pula. Namun, kurikulum yang dibutuhkan, tegas Mojau, mesti merupakan hasil pergulatan kontekstual dan karena itu bersifat eksperimental, selalu terbuka bagi kreativitas dan inovasi. Jika ini terwujud, teologi kontekstual tentu tidak akan lagi menjadi mata kuliah tersendiri, seperti dalam kurikulum PERSETIA 2003.
Ruth K. Wangkai lebih spesifik menyoroti pendidikan teologi dengan bertolak dari persoalan-persoalan yang dihadapi gereja dan sekolah teologi di Indonesia menyangkut peran dan kedudukan perempuan. Faktanya, masih banyak gereja dan sekolah teologi yang menempatkan kaum perempuan di periferi, bahkan belum menerima pendeta dan dosen perempuan. Dari proses konsultatif dari Konsultasi Wanita Berpendidikan Teologi (1983) di Sukabumi hingga Konsultasi dan Lokakarya Wanita Berpendidikan Teologi (1995) di Tomohon, diperoleh wawasan mengenai faktor-faktor penghambatnya: secara internal, karena kurangnya rasa percaya diri, dan eksternal, karena budaya, teologi, tradisi zending, struktur, aturan gereja, dan pendidikan.
Menurut Wangkai, teologi feminis masih sering dicap sebagai produk Barat, radikal, dan tidak relevan buat konteks Indonesia. Studi jender, yang menyoroti pola relasi dan ketimpangan peran antara laki-laki dan perempuan sebagaimana dikonstruksi masyarakat, dianggap lebih netral. Namun, studi feminis masih jauh lebih luas dan berani memasuki ruang-ruang yang disakralkan budaya dan agama untuk menyoroti teks-teks desktruktif dan humanis yang bahkan mensubordinasi laki-laki di bawah struktur dan ideologi patriarki.
            Setelah melalui sejumlah semiloka teologi, perspektif feminis kian diminati dan  menjadi mata kuliah wajib di beberapa pendidikan teologi. Pembacaan ulang terhadap teks-teks keagamaan yang androsentris, termasuk Alkitab, telah melahirkan pemahaman baru yang terabaikan selama ini, antara lain, lewat pembacaan yang diperkenalkan sejak tahun 2000an sebagai Membaca Alkitab dengan Mata Baru. Senada dengan keprihatinan Mojau, Wangkai menggarisbawahi pentingnya kurikulum yang mengasah  kepekaan terhadap realitas hidup masyarakat dan kemampuan mengembangkan refleksi teologi yang mengaitkan pergumulan umat dan iman, serta keterampilan pelayanan yang memperlengkapi umat sebagai agen perdamaian, keadilan dan pemulihan lingkungan hidup. Teologi feminis atau studi jender diusulkan sebagai bagian integral kurikulum pendidikan teologi.
            Dalam diskusi kelompok ada banyak suara yang menegaskan ulang apa yang dikemukakan mengenai kedua topik di atas. Menyangkut revitalisasi gerakan oikumene berbagai isu klasik tetap terdengar, antara lain, pertumbuhan gereja dari hasil perpindahan warga gereja mainstream, perebutan lahan pelayan di antara gereja anggota PGI, rekristenisasi oleh denominasi tertentu. Salah satu akar masalahnya ditemukan pada warisan budaya teologi yang berbeda. Namun, gejala tersebut juga disinyalir sebagai dampak masuknya nilai kapitalisme melalui globalisasi ke ranah gereja/kalangan Kristen, sehingga penginjilan dan kegiatan gereja lainnya menitikberatkan kepuasan psikologis dan pertumbuhan kuantitatif. Pada saat yang sama, gereja-gereja mainstream cenderung stagnan, cenderung menekankan ortodoksi daripada ortopraksi. Oikumene yang dikembangkan baru pada batas koinonia, belum pada karya-karya yang menjawab pergumulan masyarakat. Kendati demikian, ada juga tanda-tanda pengharapan, misalnya, berupa pertemuan para pimpinan/utusan gereja dari berbagai denominasi (seperti dalam KTN 2011).
Terkait dengan pendidikan teologi, terdengar suara-suara yang mengeluhkan kurangnya kesinambungan antara apa yang dipelajari di sekolah-sekolah teologi dengan kerja berteologi gereja, kurangnya pembinaan spiritual di STT-STT, dominannya rujukan teologi dari “Barat”,  minimnya literatur lokal dan fasilitas perpustakaan, juga dualisme penyelenggaraan pendidikan teologi versi kementerian agama dan kementerian pendidikan. Mengingat kesenjangan jender yang masih sangat nyata dalam gereja dan masyarakat, diusulkan agar studi jenis dan teologi feminis diberi prioritas di STT. Demikian juga terdengar suara yang mendukung usul penjaluran yang berbeda dalam pendidikan teologi seperti yang dilakukan di sebagian GKJ (pendidikan untuk menjadi teolog di STT Jakarta; pendeta di UKDW; guru, konselor, pegawai di UKSW) dan juga studi teologi bagi yang bukan calon pendeta. Untuk membina visi oikumenis, diusulkan agar ditingkatkan program pertukaran antar sekolah teologi dan juga dalam pelayanan. Juga perlu diupayakan agar pendidikan teologi bekerja sama dengan gereja dalam berteologi menghadapi kenyataan beroikumene dan berbagai persoalan kemasyarakatan.***



[1] Untuk informasi yang lebih terinci lihat catatan kaki dalam J.S. Aritonang (hl. 97); bnd. hl. 5.
[2] Yewangoe, hl. 12-13.
[3] A. S. Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan (Bandung: Mizan, 2009), 25.
[4] Eka Darmaputera, Pancasila, Identitas dan Modernitas: Tinjauan Etis dan Budaya (1987), 40.
[5] Mis. Yewangoe (hl. 22), Sutanto (hl. 34-35), Patty (hl. 110-11); bnd. rangkuman diskusi kelompok pada hl.138-39.
[6] Yewangoe, hl. 18.
[7] Susanto, hl. 40-46; bnd. Malik, hl. 49-50; Sinaga, hl. 63-74.
[8] Joas Adiprasetya, hl. 51-59.
[9] Lihat hl. 79-82.
[10] Lihat hl. 9, 84-85.
[11] Patty, hl. 114-16.
[12] Lakawa, hl. 116-33.
[13] Lihat hl. 91-109.
[14] Lihat hl. 137-41.
[15] Madya Utama, hl. 202-8.
[16] Ibid., hl. 209-10.
[17] Lihat data BPS yang dikutip Sri Palupi, 193.
[18] Susanto, hl. 36; Berlian, hl. 144-46.
[19] Berlian, hl. 147-49.
[20] Rahardjo, hl. 152-66.
[21] Rudiyanto, hl. 171, 176.
[22] Ibid., 188.
[23] Palupi, 193.
[24] Selaadji, hl. 212-14.
[25] Lihat hl. 222-25.
[26] Marbun, hl. 243-48.
[27] Reimas, hl. 249. Barangkali yang dimaksudkan adalah monos, bukan menos. Namun, istilah oikumene sendiri baik dalam Alkitab (mis. Rm 10.18) maupun secara umum mengacu kepada dunia yang didiami.
[28] Mojau, hl. 255-68.
 

Foto Saya
Nama:

Menikah dengan Marta Romauli Simamora, dikaruniai tiga putra: Tobias, Theosis dan Timaeus. Melayani sebagai pendeta di Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI, berpusat di Pematangsiantar) dan konsultan ahli di Lembaga Alkitab Indonesia (LAI). Studi lanjut dalam filologi dan tafsir Kitab Suci di Union Theological Seminary in Virginia, USA (Th.M./1995), Pontificium Institutum Biblicum, Roma (1997-98), Ecole Biblique, Yerusalem, Universitas Tesalonika, Yunani (2000). Menyelesaikan studi doktoral di Fakultas Studi Oriental, Cambridge University, UK (PhD/2003), dengan disertasi mengenai Septuaginta, yakni Kitab Suci Ibrani yang pertama kali diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani. Studi komplementer dalam bidang linguistik di Australian National University, Canberra (GradDipl/2007).

Arsip
Mei 2008 / Agustus 2008 / September 2008 / Januari 2009 / April 2009 / Oktober 2009 / Juni 2012 / Juli 2012 / Oktober 2012 / Februari 2013 / Mei 2013 /


Powered by Blogger

Berlangganan
Postingan [Atom]