KONSULTASI TEOLOGI NASIONAL 2011
KONSULTASI TEOLOGI NASIONAL 2011
Sinopsis Pengantar Diskusi di Kantor Sinode GKI Jabar, Sabtu, 20 Oktober 2012
(oleh Anwar Tjen, anggota Komisi Teologi PGI)
Konsultasi Teologi
Nasional (KTN) bertemakan "Meretas Jalan Menuju Perdamaian, Keadilan, dan Keutuhan Ciptaan" dilangsungkan dari 31 Oktober – 4 November 2011 di Cipayung.
Dalam lintasan sejarah, KTN 2011 adalah yang kelima di antara
konsultasi-konsultasi teologi yang diselenggarakan oleh DGI/PGI sejak 1970. Di
samping itu, masih banyak lagi seminar, lokakarya, studi dan kajian dengan
topik dan skala yang berbeda-beda dalam berbagai kesempatan, termasuk juga
dalam sidang-sidang DGI/PGI. Rupanya selalu ada prakarsa
dan upaya untuk menggumuli dan merespon berbagai tantangan dalam konteks
kehadiran, tugas dan panggilan gereja sebagai umat Tuhan yang diutus ke
tengah-tengah “dunia”, atau lebih spesifik lagi, NKRI. KTN 2011 yang diikuti
oleh 168 orang dari berbagai belahan Indonesia dan mewakili berbagai elemen
gereja dan masyarakat menambah lagi satu mata rantai dari rangkaian proses
pergumulan teologis yang sudah panjang dilakukan sejak DGI lahir (1950).
Seberapa urgen atau signifikan mata
rantai yang satu ini merupakan pertanyaan yang wajar diajukan, meski tak
mudah untuk dijawab. Seperti halnya konsultasi-konsultasi
teologi sebelumnya, sejarah dan para pelakunyalah yang berhak menentukan
signifikansi dan relevansi konsultasi demikian. Yang
jelas, hasil-hasil KTN 2011 telah didokumentasikan
dan diterbitkan oleh PGI (Meretas Jalan
Menuju Perdamaian, Keadilan dan Keutuhan Ciptaan; Jakarta, 2012). Dalam
Kata Pengantar MPH-PGI, disebutkan bahwa hasil studi bersama ini
dipersembahkan kepada “gereja-gereja di
Indonesia, Sekolah Teologi, pemerhati, praktisi, dan para pihak yang concern dengan pergumulan teologi di
Indonesia” (hl. vi). Pastilah ada harapan agar proses ini tidak cuma menjadi suatu
persembahan yang percuma.
Berikut
beberapa butir hasil-hasil pergumulan teologis bersama yang berlangsung dalam
interaksi-interaksi selama KTN 2011.
Meretas Jalan Menuju KPKC
Dari mana kita memulai
perziarahan teologis ini? Meneruskan semangat yang telah dimulai sejak konsultasi
teologi pertama (Pergumulan Rangkap, 1970)
di Sukabumi, konteks keberadaan gereja-gereja dengan segala peluang dan
tantangannya itulah yang mendorong umat Tuhan untuk terus “berteologi”,
mendengar sapaan Tuhan, bertanya secara otentik dan merumuskan respons dalam keterlibatan
dengan konteksnya. Tidak ada yang baru di bawah kolong langit menyangkut proses
ini, karena demikianlah yang senantiasa terjadi dalam perjumpaan Tuhan dengan
umat-Nya di panggung sejarah. Kita dapat menyimaknya mulai dari baris pertama
hingga baris terakhir Alkitab kita.
Dalam setiap
babak sejarah, perjumpaan Tuhan dengan umat-Nya mengambil tempat dalam konteks budaya, agama, sosio-politik dan ekonomi
yang spesifik, berikut dengan
persoalan dan keprihatinannya yang nyata. Teologi-teologi
yang teramati dari berbagai bagian Kitab Suci memperlihatkan kepada kita
pergeseran paradigma yang terjadi dalam perjumpaan Tuhan dan umat-Nya di
panggung sejarah, suatu dimensi inkarnasional yang memuncak pada Logos yang
mendaging dan menyejarah itu.
Menggunakan kategori
spasial, misalnya, dimensi horizontal dan vertikal sesungguhnya terjalin tanpa
terpisahkan dalam penghayatan dan pengakuan umat akan sapaan Tuhan dalam
situasinya yang berbeda-beda. Perbedaan antara tradisi kenabian dan tradisi
hikmat dalam Alkitab Ibrani adalah sebuah ilustrasi sederhana tentang hal ini. Entah
gerak itu dimulai dari atas atau dari bawah, kedua-duanya terbukti memiliki
tempat yang sah dan menyapa umat Tuhan secara otoritatif dalam pergumulan
rangkapnya, baik dengan Pencipta maupun dengan ciptaan-Nya. Dapat dikatakan, kepelbagaian
pendekatan dan kreativitas berteologi menemukan dasar dan modelnya dalam
Alkitab sendiri.
Apa yang
disampaikan oleh A.A. Yewangoe tentang konsultasi teologi pertama di Sukabumi
(1970) merupakan sebuah contoh menarik mengenai pendekatan yang diambil dalam forum
berteologi. Menurut catatan notulen, para peserta tidak disuguhi ceramah
melainkan disodori kertas kosong untuk diisi dengan apa yang mereka lihat sebagai
kebutuhan dan pergumulan gereja kala itu. Lalu dari catatan-catatan ini,
konsultasi teologi dilangsungkan dan hasilnya merupakan suatu koreksi yang
perlu terhadap tradisi pietisme yang diwariskan para zendeling. Dokumen
Pergumulan Rangkap yang dihasilkan,
menurut Yewangoe, mempunyai pengaruh yang kuat pada Sidang Lengkap VII DGI di
Pematangsiantar (1971) yang bertemakan: “Diutus ke dalam Dunia” dengan
sub-tema: “Partisipasi Kristen dalam Pembangunan”.
Meski
mengambil pendekatan yang berbeda, KTN 2011 toh didorong oleh keprihatinan yang
serius mengenai masalah-masalah besar yang tengah dihadapi oleh bangsa kita. Kemiskinan, korupsi, lemahnya penegakan
hukum, meningkatnya aksi-aksi teror hanyalah beberapa contoh konkret di antara daftar panjang persoalan yang menuntut penyelesaian. Ironisnya, semua ini
terjadi di tengah-tengah maraknya segala kegiatan keagamaan dalam kehidupan umat
di negeri ini.
Agama-agama (baca: umat beragama) kelihatan giat
sekali, tidak ketinggalan dengan simbol-simbolnya yang turut memadati ruang
publik. Siapa saja yang mengamati, meski hanya sekilas, gerak kehidupan
beragama di Indonesia, mudah memperoleh kesan betapa pentingnya peran
agama-agama dalam kehidupan bangsanya. Namun, kesan ini gampang berubah menjadi
kritik, kalau bukan sikap sinis. Tidak sulit melihat alasannya. Seperti
yang diistilahkan oleh A.S. Maarif, gereja, pura, masjid, kelenteng dan tempat
ibadah lainnya tetap ramai, namun kehidupan sosio-etis bangsa ini makin
compang-camping.
Tidak
hanya itu, kita masih mewarisi beban sejarah yang terkait dengan ikatan-ikatan
primordial yang sudah lama dinubuatkan oleh para pemikir bervisi profetis.
Sebut saja apa yang ditengarai oleh Eka Darmaputera seperempat abad lalu:
“Bhinneka Tunggal Ika berarti bahwa bahaya disintegrasi merupakan ancaman yang
amat nyata, namun sekaligus bukanlah sesuatu yang mustahil ... sementara
keanekaragaman merupakan dan akan tetap merupakan fakta yang tak dapat
dipungkiri, kesatuan juga tetap dan akan tetap menjadi masalah.”
Situasi segenting
itulah yang mendorong Komisi Teologi merumuskan secara lebih spesifik agenda utama
konsultasi sebagai upaya peretasan jalan menuju Perdamaian, Keadilan, dan
Keutuhan Ciptaan (KPKC). Tema ini tentu tidak baru lagi, tetapi juga tidak akan
pernah basi. Kritik para nabi, ajaran Yesus dan para rasul-Nya berulang kali
menegaskan kembali urgensi masalah-masalah “klasik” ini (mis. Yes 58.5-7; Mi
6.8; Mat 23.23; Rm 12.18). Kita tidak sendirian dalam perziarahan teologis yang
mengusung tema besar ini. Bersama-sama gereja-gereja sejagad di bawah payung
DGD, misalnya, isu-isu KPKC telah mengkristal sejak Sidang Raya DGD VI di
Vancouver (1983). Tahun depan, setelah menggumuli tema “Justice, Peace, and Integrity of Creation”
selama tiga dasawarsa, Sidang
Raya DGD X di Busan masih berkutat pada tema yang senada: “God of Life, Lead us to Justice and Peace!” Di tanah air, tema ini
mendapat perhatian yang semakin intensif sejak Sidang Raya PGI XI (1989) di
Surabaya.
Di bawah inspirasi
oleh tema besar ini, terbersit harapan, agar persoalan-persoalan keadilan dan
perdamaian mendapat aksentuasi dan urgensi baru dalam konteks bergereja,
bermasyarakat dan berbangsa. Bahkan tadinya ada yang mengusulkan agar KTN
2011
mendeklarasikan
status confessionis, situasi genting
yang menuntut pilihan tegas tanpa kompromi, meski penuh resiko, seperti resistensi
terhadap Hitler yang dirumuskan dalam Deklarasi Barmen (31 Mei 1934). Kendati
tidak sampai ke titik itu, ada
sense of crisis yang hendak digarisbawahi dengan
mengangkat soal integrasi dan diskriminasi yang, jika tidak ditangani
dengan serius, bukan mustahil dapat membuyarkan impian kita bersama sebagai
satu bangsa dengan segala akibatnya. Keprihatinan ini berulang kali terungkap
dalam berbagai interaksi di pleno maupun diskusi kelompok.
Ecce Homo!
Sekalipun memberi perhatian besar
pada masalah-masalah struktural dan berskala nasional hingga global, KTN 2011 memberi
ruang bagi penegasan ulang dan pemaknaan akan
nilai manusia sebagai makhluk bermartabat yang
diciptakan menurut gambar Allah. Di balik istilah-istilah
abstrak seperti
kemiskinan, ketidakadilan, diskriminasi atau kekerasan, dan berbagai bentuk
dehumanisasi lainnya, yang dimaksud pastilah manusia yang hidup dengan
pengalaman dan keprihatinan yang nyata. Seperti yang digarisbawahi oleh
Yewangoe, “persoalan kemiskinan, ketidakadilan, perdamaian, keutuhan ciptaan
adalah persoalan kemanusiaan.”
Manusia dalam arti yang paling hakiki dan konkret
inilah yang menjadi subjek yang harus dihormati dan diperjuangkan hak-haknya
untuk dapat hidup dan diberdayakan memberi sumbangsih bagi hidup bersama yang
lebih manusiawi. Seperti yang ditegaskan oleh Yesus, kepentingan apa pun,
termasuk agama, tidak berada di atas nilai manusia itu sendiri (bnd. Mrk 2.27). Dalam
perumpamaan orang Samaria (Luk 10.25-37), misalnya, kesesamaan dengan sengaja ditegaskan melampaui kesamaan identitas
atau ikatan primordial. Bagi Yesus kesesamaan adalah keterlibatan dan
tindakan menjadi “sesama” bagi korban yang tak berdaya.
Kajian mendasar yang menyentuh sisi teologis-pastoral
dari manusia dibutuhkan untuk memahami kemanusiaan dalam hubungan dengan Tuhan,
dengan sesamanya dan tentunya dengan dirinya sendiri. Siapakah manusia itu dan bagaimana harkat dan martabatnya dilihat secara
teologis? Bagaimana ia menghadapi persoalan-persoalan yang melibatkan dirinya baik sebagai pelaku ataupun korban? Bagaimana ia melihat
dirinya dalam relasi dengan yang lain?
Di balik data komprehensif yang diberikan menyangkut
berbagai persoalan yang dihadapi di Indonesia, Daniel Susanto, misalnya, tetap
berkeyakinan bahwa persoalan dasarnya tidak hanya terletak pada faktor-faktor
eksternal seperti sistem dan implementasi hukum yang lemah melainkan juga dilema
manusianya itu sendiri yang sudah dicengkeram oleh kuasa dosa. Imago Dei inilah
yang dipulihkan kembali oleh Kristus, sehingga relasinya dengan Allah, sesama
mahkluk dan dirinya mengalami pemulihan dan pertumbuhan.
Jadi, solusi untuk berbagai masalah seperti korupsi, kekerasan, bunuh diri, dan
pengrusakan lingkungan hidup, memiliki akarnya dalam relasi yang dibangun dengan
Tuhan lewat doa, meditasi, ibadah yang berbuah kebajikan dan kasih kepada
sesama.
Aspek teologis-relasional dari manusia yang diciptakan
menurut gambar Allah diberi pendasaran trinitaris lewat kajian Joas Adiprasetya
yang meneropongnya melalui konsep perikhoresis,
saling-masuk, saling-rangkul dan saling-memberi ruang di antara ketiga
“pribadi” Ilahi. Entah
dalam bentuk peneladanan ataupun partisipasi dalam koinonia trinitatis, harkat
dan martabat manusia dilihat dalam kerangka relasionalitas dengan Allah dan
seluruh ciptaan, sehingga perjumpaan
dengan manusia adalah perjumpaan berwatak trinitatis yang menciptakan “ruang”
bagi perjumpaan antar-insan dan antar-ciptaan, yang menghormati keunikan dan
keberagaman. Perjumpaan perikhoretis menolak baik individualisme yang
mengalineasi manusia dari sesama maupun antroposentrisme yang mengabaikan
ciptaan. Salah satu implikasinya bagi relasi antar-manusia mewujud dalam
terbukanya oikos bagi hospitalitas
yang memungkinkan rekonsiliasi yang mentransformasi dua pihak yang tadinya asing
menjadi sahabat. Ini berlaku juga dalam ranah “ekonomi”, penataan oikos, yang tanpa hospitalitas gampang
berubah menjadi kapitalisasi dan diskriminasi atas manusia.
Percakapan
dalam kelompok menggaungkan urgensi dari pemahaman ulang tentang manusia secara
lebih inklusif melampaui dikotomi manusia Kristen vs non-Kristen.
Gereja diharapkan mengkritisi wawasan yang tidak memihak nilai-nilai
kemanusiaan dan keadilan, termasuk tradisi misoginisnya yang meminggirkan
perempuan. Gereja dan perguruan teologi diharapkan dapat menjadi wadah
pembelajaran sejak dini untuk memahami siapa manusia itu, bagaimana menjadi
sesama, bagaimana hidup dalam kemajemukan dan mencintai lingkungan. Dalam hal
ini, nilai budaya dan kearifan lokal yang melestarikan perdamaian dengan sesama
dan alam dapat dan perlu digali, salah satu unsur yang memang kurang terdengar
dalam KTN 2011. Institusi-institusi keagamaan ini diminta lebih nyaring
memperdengarkan suara kenabian. Bahkan, ada suara yang mengusulkan agar
dilakukan penelitian atas kemungkinan campur tangan intelijen negara dalam
kelompok radikal dan anarkis agama.
Lintas-Agama dan Lintas-Denominasi
Permasalahan dan peran manusia
sebagai warga gereja dan masyarakat dalam relasi antar-gereja dan antar-agama
menjadi fokus dalam Cluster II. Disadari bahwa kemajemukan adalah suatu
keniscayaan yang terelakkan dengan sisi positif dan negatifnya. Kemajemukan
dapat dilihat sebagai potensi untuk membangun kebersamaan, kerja sama, dan
persaudaraan, tetapi juga berpotensi menimbulkan konflik dan permusuhan, akibat
sikap eksklusif yang terbentuk atas identitas primordial atau akibat kesenjangan
ekonomi.
Relasi
antar-agama bukannya ditandai
dengan kebersamaan untuk memperjuangkan isu-isu etis yang mendesak seperti
kemiskinan, ketidakadilan, HAM, ketimpangan jender dan pengrusakan lingkungan
hidup, melainkan justru kecurigaan,
persaingan dan perebutan. Hubungan antar-agama masih sangat disibukkan dengan
isu-isu penyebaran agama dan perpindahan lintas-agama. Situasi ini masih
diperkeruh oleh berbagai manuver politik yang mengatasnamakan identitas agama,
di samping identitas primordial lainnya.
Temuan Biro
Penelitian dan Komunikasi PGI memperlihatkan terjadinya pengerasan identitas
dan segregasi antara kelompok di berbagai belahan Indonesia, di antaranya, ada
yang didukung dana transnasional Islam.
Ditemukan adanya praktik yang mewajibkan pengucapan dua kalimah syahadat di
sekolah-sekolah. Di wilayah Timur dicurigai adanya “Islamisasi” dengan
mendatangkan warga Muslim ke kantong-kantong Kristen. Di wilayah Barat,
segregasi sosial semakin kuat, misalnya, dengan munculnya perumahan atau kost
yang eksklusif Muslim dan penggunaan atribut keislaman di sekolah-sekolah.
Albertus Patty mensinyalir adanya faktor
internal menjadi kendala membangun pluralisme, di antaranya, penafsiran Kitab
Suci yang literal, misi yang agresif, prasangka akibat beban sejarah lalu, dan
juga faktor eksternal yang bersifat sosio-politis seperti ketidakjelasan
posisi/peran agama dalam negara-bangsa, media yang provokatif, peraturan
pemerintah yang diskriminatif, keberpihakan aparat pada umat tertentu, lemahnya
penegakkan hukum terhadap pelaku kekerasan agama, kecemburuan sosial akibat
kesenjangan ekonomi, dan apa yang diistilahkan dengan failed state.
Disadari bahwa relasi antar-agama tidak cukup dibangun lewat reorientasi
teologi dan memerlukan pendekatan holistik dari segi budaya, ekonomi,
sosio-politik dsb. Patty sendiri mengusulkan agar kita berangkat dari definisi
yang sama tentang pluralisme yang menurutnya melampaui toleransi dan menuntut
komunikasi timbal-balik serta keterlibatan dalam kehidupan bersama dengan
menghargai perbedaan dalam suasana terbuka.
Relasi lintas-agama diberi wajah yang lebih
personal oleh Septemmy E. Lakawa melalui narasi para korban pasca-kekerasan (aftermath) dengan mengangkat konflik
berdarah di desa Duma, Halmahera
Utara (1999-2000).
Narasi pertama merupakan kesaksian seorang ibu yang mengalami dan
menyaksikan pertumpahan darah dalam konflik antar-agama. Narasi kedua merupakan
tuturan seorang pendeta perempuan bertoga kependetaan yang mengambil keputusan
untuk mencegah konflik berdarah dengan menarik garis pembatas dan berada di
antara dua pasukan. Narasi ketiga, juga oleh seorang pendeta perempuan, memberi
contoh perjalanan lintas batas menembus ketakutan dan kecurigaan pasca konflik
berdarah.
Perspektif “pasca” ini ditawarkan sebagai
reimajinasi pasca pluralisme yang
dianggap normatif, sehingga kompleksitas relasi dapat dilihat lebih jernih
melampaui hubungan-hubungan kekuasaan. Kekerasan kolektif yang serba
lintas-batas (etnis, agama, geografis), seperti yang terjadi di Maluku Utara,
memunculkan keraguan akan kekuatan simbolik dari identitas kolektif bernama
“Indonesia”. Kesahihan Pancasila pun dapat dipertanyakan bila diperhadapkan
dengan realitas kekerasan pada akar rumput, bahkan di era reformasi politik.
Tiga narasi perempuan yang menjadi survivor pada pasca kekerasan diangkat ke permukaan untuk memperlihatkan peran
teologi sebagai “saksi” yang mendengar ratapan dari dalam
pengalaman kekerasan komunal yang
tak terkatakan. Perspektif aftermath
ini diakhiri dengan catatan mengenai “improvisasi teologis” yang dilakukan
komunitas Kristen Duma dengan mendirikan kuburan korban, rumah doa yang
dibangun dari reruntuhan gereja dan diperuntukkan bagi semua (termasuk kaum
Muslim), serta gedung gereja baru, semuanya dalam satu lokasi. Kita diajak
untuk melihat betapa pengalaman pedih pun memungkinkan lahirnya narasi baru dalam relasi lintas-agama pasca kekerasan.
Bila kita
melanjutkan tinjaun kita dengan melirik relasi inter-agama atau
antar-denominasi, potret yang tampak juga tidak menggembirakan. Sebut saja apa yang sedang
menggejala di antara umat Kristiani dalam bentuk persaingan dan perebutan
antar-kelompok, belum lagi di dalam kelompok yang sama. Benyamin
F.
Intan dan Jan
S.
Aritonang memulai paparan mereka dengan nada yang serupa, meski keragaman dan
perbedaan denominasi disebutkan tak perlu terus diratapi. Intan, antara lain,
menggarisbawahi pentingnya dasar yang benar agar persatuan yang diharapkan
tidak bersifat semu. Mengacu kepada doktrin predestinasi dalam Alkitab,
ditegaskannya bahwa persoalan perpindahan lintas-gereja atau lintas-agama hak
setiap individu. Dibutuhkan
creative proexistence
untuk merawat hubungan antar-denominasi agar gereja-gereja yang beragam
hidup saling membantu melampaui sekadar hubungan tidak saling mengganggu. Intan
menyesali lahirnya Peraturan Bersama Menteri (2006) dan menengarai persetujuan
gereja sebagai sebentuk penegasian terhadap gereja yang keanggotaannya di bawah
90 orang dan beribadah di ruko-ruko.
Aritonang mencatat, terdapat 350 organisasi gereja
di luar gereja Katolik Roma, dengan jumlah anggota sekitar 17 juta jiwa.
Pertanyaan kritis dilontarkannya terkait dengan peran gereja dengan beragam
denominasi itu, apakah mempunyai pemahaman yang sama terhadap sejumlah masalah
besar yang melanda bangsa dan bersama-sama mengerjakan tugas besar untuk itu. Kita
diajak belajar dari pengalaman tiga gereja di luar negeri yang mengambil sikap
teologis dalam konteks masing-masing (Die
Bekennende Kirche di Jerman, 1934; gereja di Jepang pasca Perang Dunia II;
gereja-gereja di Afrika Selatan yang merumuskan resistensi terhadap apartheid
dalam Dokumen Kairos, 1985). Banyak dokumen berbobot yang telah dihasilkan
gereja-gereja di Indonesia, namun sayangnya belum ada dokumen gereja
yang membawa perubahan signifikan dalam kehidupan bangsa dan negara kita.
Berbagai suara
kritis mengenai hubungan lintas-agama dan lintas-denominasi pun diperdengarkan dalam
diskusi kelompok.
Ada pengamatan kritis mengenai otonomi daerah yang mengakibatkan
pengkotak-kotakan dan keterasingan di antara umat beragama. Polarisasi relasi
antar-agama di satu pihak terjadi lewat perda-perda bermuatan agama dan di
pihak lain lewat ekspansi penginjilan dan rekristenisasi. Komersialisasi agama
pun teramati dalam pengurusan IMB dan pengamanan gereja. Bahkan ada yang mensinyalir,
terjadi politisasi agama yang ditunggangi kepentingan pemerintah yang terkesan
melakukan pembiaran terhadap kekerasan. Situasi pasca konflik antar-agama
sering menimbulkan kebingungan bagaimana harus menjalin kembali relasi yang
memulihkan.
Gereja sendiri
dinilai lebih sibuk dengan diri sendiri dan gagal mendidik warganya untuk hidup
berdampingan dalam masyarakat yang majemuk. Banyak gereja yang tampaknya puas
tinggal dalam comfort zone. Dalam
hubungan antar-gereja/denominasi, gereja-gereja belum menunjukkan komitmen yang
sungguh-sungguh dalam gerakan oikumene. Termasuk dalam hal ini pembentukan
jemaat di luar daerah sendiri dengan menabrak kesepakatan yang telah dibuat.
Perebutan kekuasan di kalangan pejabat gereja kerap menjadi pemicu perpecahan
dan pertambahan jumlah gereja. Ada pula yang menggunakan pendekatan yang lebih
halus lewat diakonia.
Di antara
usul-usul tindak-lanjut yang dikemukakan oleh kelompok-kelompok diskusi, ada
seruan untuk membekali para pemimpin/pelayan umat dalam komunikasi/dialog
antar-agama. Begitu pula, diusulkan kerjasama lintas-agama dan
lintas-denominasi dalam penanggulan bencana dan aksi-aksi kemanusiaan,
sebab manusia lebih mungkin dipersatukan
dalam penderitaan. Dalam kaitan dengan kebebasan beribadah/beragama, kita
mendengar suara-suara yang menyerukan agar PBM 2006 ditinjau ulang. Juga
suara-suara kritis terhadap fatwa-fatwa MUI.
Perdamaian dan Keadilan dengan Pasar
Landasan bagi percakapan seputar
tema ini diletakkan oleh kajian Rm. Ignatius L. Madya Utama yang menggali
pemahaman teologis-alkitabiah tentang kaum miskin, pembebasan dan panggilan
menjadi gereja kaum miskin. Ini dilakukan terutama dengan menelusuri teks-teks
PB (mis. Luk 6.20-21; Mrk 10.31).
Gerakan Yesus, menurutnya, ditujukan bagi orang-orang yang hidup di pinggiran
dari segi ekonomis, sosio-politis, maupun religius. Federasi Konferensi Wali
Gereja Asia, misalnya, menegaskan keberpihakan dan sambutan Gereja kepada kaum miskin,
di antaranya, melalui program-program pengembangan kemanusian yang respek pada
martabat dan budaya kaum miskin. Ditegaskan pula bahwa orang kaya barulah benar-benar
menjadi anggota penuh Gereja bila “bersedia bertindak adil dan mengamalkan
kasih terhadap kaum miskin.”
Berpijak pada
realitas Indonesia, kemiskinan jelaslah merupakan fakta keras yang menandai
kehidupan puluhan juta (sekitar 35 juta menurut data BPS 2011),
bahkan ratusan juta manusia Indonesia (sekitar 100 juta menurut Bank Dunia). Samsudin
Berlian memberi data yang berbeda lagi versi
Human Development Report, termasuk dalam skala global.
Bukan saja perbedaan parameter mengukur tingkat kemiskinan yang berbeda, dalam
KTN 2011, kita melihat pula perbedaan perspektif dalam melihat kemiskinan
sebagai bagian atau akibat dari sistem ekonomi dan politik diberlakukan. Berlian
berpendapat, sistem pasar bebaslah yang terbukti efektif dalam jangka panjang
dan menghasilkan kekayaan dan kemakmuran untuk sebanyak mungkin orang asalkan sistem
ini ditopang oleh sistem politik demokratis yang juga terbukti paling efektif
dan bertahan lama.
Tugas gereja dalam ranah ini diistilahkannya dengan keterlibatan
cerdas-berhikmat dengan turut memastikan agar kebijakan ekonomi mendorong penciptaan
kekayaan dan kebijakan politik yang diambil berpihak kepada sebagian besar
rakyat sehingga tersedia peluang dan dukungan bagi rakyat untuk meraih
kesejahteraan dan kemakmuran.
Dalam
kajian Dawam Rahardjo, ekonomi berkeadilan lebih spesifik diartikan sebagai
ekonomi pasar berkeadilan (
social market
economy) yang lahir di Jerman pasca Perang Dunia II. Titik tolaknya adalah
gagasan ekonomi liberal atau ekonomi pasar bebas yang dilembagakan ke dalam
kelembagaan hukum untuk melindungi kebebasannya agar sistem bisa berkelanjutan
dan pencapaian tujuan bisa dilakukan secara sistematis. Sistem ekonomi
berkeadilan perlu dipikirkan secara berlapis, pertama-tama sebagai kombinasi
antara individualisme dan altruisme yang dalam agama Islam, misalnya, diajarkan
lewat doktrin amal saleh. Pada tingkat individu berlaku azas liberalisme yang
memberi kesempatan bagi setiap orang untuk menunaikan hak-hak asasinya. Namun,
politik kesejahteraan yang melibatkan peran negara juga dipandang perlu untuk
menjamin kesejahteraan karena masalah kemiskinan yang disisakan oleh sistem
kapitalisme. Untuk Indonesia, Raharjo menggarisbawahi azas kekeluargaan (Ps 33
UUD 45), dan negara berkewajiban mengatur perekonomian dan memberdayakan sumber
daya alam bagi kemakmuran rakyat, serta memberi jaminan bagi fakir miskin dan
anak-anak terlantar (Ps 34).
Di
ujung lain dari spektrum perspektif ekonomi yang dibicarakan, Rudiyanto dengan
memanfaatkan analisis Marxis mengeritik sistem kapitalis yang “secara inheren,
sistemik, struktural tidak adil” di mana modus produksinya tidak demokratis
karena tergantung pada siapa yang memegang kepemilikan, akses, kontrol atas
alat-alat produksi atau alat-alat penciptaan kemakmuran masyarakat.
Di Indonesia keadaannya diperparah dengan lahirnya kelas borjuis dari
perkawinan imperialisme dan feodalisme yang menikmati gadaian sumber-sumber
daya alam dan rakyat, berikut dengan korupsi, manipulasi dan mafia oligarki.
Bagi Rudiyanto, panggilan bagi umat Kristiani untuk mengikuti jejak Yesus dari
Nazaret, yang mirip dengan kebanyakan, kita termasuk lapisan borjuis kecil
(“kelas menengah”). Itu berarti komitmen etis-politis berupa
preferential option for the poor and the
oppressed dan dalam bentuk konkretnya berupa pendampingan bagi kelas buruh,
kaum tani, kaum miskin kota, dan kaum tertindas lainnya.
Terkait
secara langsung atau tidak langsung dengan ketiga bingkai konseptual yang
diajukan, studi kasus yang kaya data oleh Sri Palupi menampilkan ketimpangan
yang terjadi dalam bentuk pemiskinan dan esklusi sosial kelompok marjinal dalam
berbagai kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Untuk menyebut beberapa fakta
saja: produk undang-undang 90% berbicara tentang politik dan pemekaran daerah. Angka
kemiskinan pun diberi pencitraan politis. Angka 35 juta versi BPS didasarkan
pada garis kemiskinan Rp. 211.726/bulan.
Anggaran studi banding 8 anggota DPR ke Yunani (2010) Rp. 1,5 milyar (setara
dengan jamsostek 25.000 orang miskin). Anggaran penertiban di DKI (2010) Rp.
183 milyar, sedangkan anggaran pelatihan orang miskin Rp. 50 juta.
Palupi
menyebut beberapa faktor penyebabnya, antara lain, pemiskinan organisasi,
solidaritas, komitmen, pertarungan nilai semisal pornografi yang lebih menarik
perhatian daripada kasus busung lapar. Dominasi modal asing lewat lembaga-lembaga
finansial seperti World Bank dan IMF, dan juga NGO internasional. Solusi yang
diusulkan oleh Palupi, antara lain, adalah lewat pengorganisasian masyarakat
dan pemupukan solidaritas, terutama kelas menengah dan bawah. Untuk menjadi
bagian dari solusi bangsa, gereja dituntut untuk mentransformasi diri agar
tidak terasing dari masyarakat.
Dalam
bidang pelayanan kesehatan, Sri Bayu Selaadji menyajikan contoh-contoh konkret dari
pemberdayaan warga GMIT Maktiha di Kab. Belu, NTT, dan para ibu rumah tangga di
Waiterang, Kab. Sikka, NTT, melalui CD Bethesda.
Pemberdayaan yang dilakukan berorientasi pada penguatan berbasis potensi lokal,
dan dilihat secara holistik dalam kaitan dengan berbagai aspek yang bertujuan
membebaskan masyarakat dari kemiskinan dan ketidakadilan. Warga masyarakat yang
tadinya sulit memperoleh pelayanan kesehatan karena miskin, melalui Usaha
Bersama Simpan Pinjam, mengorganisasi dirinya untuk saling membantu dalam
semangat solidaritas, swadaya dan kesetaraan. Proses demikian terbukti berhasil
karena sistem yang dibangun transparan akuntabel, dan tepercaya.
Interaksi
dalam pleno maupun diskusi kelompok mengukuhkan fakta kemiskinan sebagai akibat
ketidakadilan sistemis. Sumber daya alam yang dikuras habis-habisan seperti
yang terjadi di Freeport merupakan contoh nyata keputusan politik yang tidak
memihak rakyat.
Gereja
tidak boleh diam dan mencermati tindakannya di tengah-tengah masyarakat supaya
tidak terjebak mendukung pelaku ekonomi yang korup karena menerima bantuan dari
perusahaan multinasional. Ada banyak kritik yang ditujukan kepada gereja baik
karena ketidakpedulian pada pergumulan masyarakat maupun karena gaya hidup
gereja sendiri yang konsumtif dan semakin kapitalis. Diakonia gereja lebih
banyak bersifat karitatif daripada reformatif dan transformatif. Banyak harapan
dan tuntutan bagi gereja untuk turut dalam pemberdayaan masyarakat bergandengan
tangan, misalnya, dengan LSM-LSM. Juga diusulkan agar teologi sosial dan
pemberdayaan dimasukkan dalam program studi dan pembekalan para calon pendeta.
Bahkan, di antara suara-suara yang terungkap dari diskusi kelompok, ada desakan
agar segera dimulai satu gerakan nasional dengan bertolak dari diskusi dan
hasil KTN 2011.
Revitalisasi Gerakan Oikumene dan Pendidikan Teologi
Topik ini terjalin erat dengan
keprihatinan pada relasi lintas-denominasi yang sudah ditinjau di atas. Revitalisasi
memang mengandaikan pasang surut yang terjadi dalam visi dan praksis merajut
rumah bersama (oikumene). Bertolak
dari doa Yesus dalam Yohanes 17.21, menurut Yewangoe, visi oikumene sesuai
dengan makna dasarnya (oikos ‘rumah,
dunia’ dan menein ‘tinggal,
mendiami’) mengajak kita untuk bergerak jauh lebih luas dari upaya
mempersatukan gereja-gereja. Cakupannya tak kurang dari “dunia” agar layak
untuk didiami, dan dalam wajah nasionalnya rumah itu bernama Indonesia.
Di
era 1950an ketika pada waktu Indonesia masih berupaya menemukan jati dirinya,
terbentuknya DGI merupakan “sumbangan” kepada bangsa Indonesia, dan sekaligus
menegaskan kesatuan bangsa dan keindonesiaan, seperti yang tampak dari kiprah
tokoh-tokoh oikumenis ketika itu. Tidak ada yang mengidap split personality, sebab ada kemampuan mempertemukan iman dan
kebangsaan. Yewangoe mengusulkan agar nilai-nilai Pancasila direvitalisasi dan
demikian pula PNSPP (“Pembangunan Nasional sebagai Pengamalan Pancasila”). Sebagaimana
dirumuskan dalam PTPB, PGI dan gereja-gereja dipanggil untuk turut memelopori
pewujudan civil society (masyarakat berkeadaban) di Indonesia. Implikasinya,
antara lain, penolakan UUD yang bersifat diskriminatif, seperti RUU KUB yang
sedang digarap DPR. Untuk merevitalisasi gerakan oikumene yang berwawasan
kebangsaan, Yewangoe menegaskan perlunya pengkaderan yang berencana.
Japarlin
Marbun (PGPI) dan Nus Reimas (PGLII), masing-masing menyoroti gerakan oikumene
berwawasan kebangsaan berdasarkan visi dan tradisi yang mereka wakili. Marbun
mengakui masih kurangnya perhatian kalangan Pentakosta untuk secara aktif
terlibat dalam masyarakat. Kalangan Pentakosta lebih mengutamakan penginjilan
dan kegiatan seperti KKR, namun ada paradoks yang terlihat dalam kiprah
tokoh-tokoh Pentakosta yang justru terjun dalam politik praktis di era
reformasi ini. Walau tidak menempuh cara yang lebih terstruktur seperti PGI,
menurut Marbun, sejak dulu hingga kini turut memikirkan dan terlibat dalam
pergumulan masyarakat, antara lain, dengan membantu korban bencana alam,
gerakan menanam pohon, diakonia bagi rakyat miskin di sekitar gereja. Dalam
konteks global, Marbun menyebutkan adanya kesadaran yang semakin kuat akan
pentingnya keterlibatan gereja dalam rekonsiliasi dan pemberdayaan seperti yang
dihasilkan
The Third Laussane Congress of
World Evangelization (2010) di Cape Town, Afrika Selatan. PGPI turut
mendorong upaya merealisasi shalom Kerajaan Allah di Indonesia dan meyakini
pentingnya badan-badan gerejawi aras nasional bersinergi mewujudkannya
mengingat luas dan beratnya masalah-masalah yang dihadapi. Di antaranya, Marbun
menginventarisasi, isu kepemimpinan, korupsi dan penegakan hukum, diskriminasi dan
pluralisme, serta isu Papua yang tidak dapat diselesaikan dengan pendekatan
keamanan saja melainkan pendekatan budaya dan agama.
Nus
Reimas yang mewakili perspektif kaum Injili memulai paparannya dengan sebuah
catatan etimologis tentang
oikumene (
oikos menes ‘rumah kediaman, atau
oikos menos ‘satu
rumah’) dan mengartikannya lebih spesifik sebagai kehidupan yang rukun dalam
sebuah rumah. Dalam tinjauan historisnya, Reimas menelusuri gerakan oikumene
internasional mulai dari Konferensi Misi Internasional di Edinburgh (1910) yang
semula melibatkan kaum Injili dan liberal dalam keesaan misi. Namun, kegagalan
untuk menyatukan pemahaman mengenai
biblical
foundation akhirnya berujung pada pemisahan diri kaum Injili sejak
terbentuknya WCC di Amsterdam (1948). Atas dasar yang sama pula, PGLII sebagai
wadah persekutuan gereja-gereja Injili tidak secara formal organisatoris berada
dalam lingkup gerakan oikumene, meski tetap mendukung secara spiritual dan
memberi kontribusi berwujud pemikiran teologis dan tindakan.
PGLII
berpegang pada enam doktrin utama kaum Injili dan mengakui Alkitab sebagai
Firman yang tanpa salah, dan memisahkan diri dari gerakan oikumene yang
ditengarai telah mengikuti filsafat dan teologi modern yang bertentangan dengan
itu. Berlandaskan paham teologi dan dasar alkitabiah seperti itu, PGLII
memahami gerakan oikumene berwawasan kebangsaan sebagai kesatuan rohani dan
kebersamaan tindakan untuk membawa warga masyarakat agar tahu dan percaya akan
Yesus Kristus. Wujud keesaan yang dibayangkan adalah keesaan dalam tindakan,
bukan dalam bentuk sinode atau organisasi raksasa.
Semua
pembicaraan mulai dari tema KPKC hingga revitalisasi gerakan oikumene tidak
dapat tidak terkait dengan apa yang berlangsung dalam dapur pembekalan SDM di
bidang teologi. Julianus Mojau (PERSETIA) mengawali sumbangan pemikirannya
dengan bertolak dari
Pergumulan Rangkap yang
dirumuskan dalam konsultasi teologi 1970.
Pada satu pihak, pergumulan itu adalah pergumulan Gereja dengan Tuhannya dalam
menghayati kebenaran dan anugerah dalam Yesus Kristus; pada pihak lain,
merupakan pergumulan dengan kebudayaan dan masyarakat. Bagi Mojau,
“revitalisasi” terdengar sebagai gugatan gereja-gereja entah dalam arti
menghidupkan kembali roh konsultasi teologi tahun 1970 atau menemukan gairah da
model pendidikan yang melampaui kurikulum pendidikan era 1970an. Lagi-lagi
mengacu kepada konsultasi teologi 1970, tujuan pendidikan teologi dirumuskan
sebagai pembinaan yang menghasilkan calon-calon pendeta jemaat yang
matang berteologi dalam arti terbuka dan
terampil menyoroti dan menanggapi masalah-masalah secara yang harus dihadapi
secara teologis dan
berdedikasi,
tekun dan setia mengambil tugas dan panggilannya dalam setiap kondisi.
Meskipun
pemikiran teologis yang dihasilkan dalam konteks Indonesia dapat dikatakan
cukup kontekstual, progresif dan responsif terhadap pergumulan gereja dan
masyarakat, ensiklopedi dan desain
kurikulum di sekolah-sekolah teologi masih didominasi praktik model pembelajaran depositum fidei. Model banking ini dikritik oleh Paulo Freire
sebagai model yang masih berada dalam taraf kesadaran
magis dan naif. Dengan model seperti itu, teologi dan iman gampang berubah
menjadi ideologi tertutup yang membunuh
kesadaran kritis-emansipatoris warga jemaat dan masyarakat. Kesadaran
religius pun berubah menjadi ideologi narsistis.
Mojau
mengusulkan dua jalur pendidikan teologi yang menjawab tujuan yang berbeda
tetapi komplementer, baik kebutuhan tenaga profesional kegerejaan maupun kebutuhan
akan pendidikan keilmuan teologi yang terbuka bagi siapa saja. Kedua jalur ini
sama-sama dipahami sebagai pendidikan
emansipatoris bagi masyarakat, yang satu mendorong proses itu dari dalam gereja dan yang lain di luar gereja. Selaras dengan itu,
dibutuhkan desain kurikulum yang berbeda pula. Namun, kurikulum yang
dibutuhkan, tegas Mojau, mesti merupakan hasil pergulatan kontekstual dan
karena itu bersifat eksperimental, selalu terbuka bagi kreativitas dan inovasi.
Jika ini terwujud, teologi kontekstual tentu tidak akan lagi menjadi mata
kuliah tersendiri, seperti dalam kurikulum PERSETIA 2003.
Ruth K.
Wangkai lebih spesifik menyoroti pendidikan teologi dengan bertolak dari
persoalan-persoalan yang dihadapi gereja dan sekolah teologi di Indonesia
menyangkut peran dan kedudukan perempuan. Faktanya, masih banyak gereja dan
sekolah teologi yang menempatkan kaum perempuan di periferi, bahkan belum
menerima pendeta dan dosen perempuan. Dari proses konsultatif dari Konsultasi Wanita Berpendidikan Teologi (1983)
di Sukabumi hingga Konsultasi dan Lokakarya
Wanita Berpendidikan Teologi (1995) di Tomohon, diperoleh wawasan mengenai
faktor-faktor penghambatnya: secara internal, karena kurangnya rasa percaya
diri, dan eksternal, karena budaya, teologi, tradisi zending, struktur, aturan
gereja, dan pendidikan.
Menurut
Wangkai, teologi feminis masih sering dicap sebagai produk Barat, radikal, dan
tidak relevan buat konteks Indonesia. Studi jender, yang menyoroti pola relasi
dan ketimpangan peran antara laki-laki dan perempuan sebagaimana dikonstruksi
masyarakat, dianggap lebih netral. Namun, studi feminis masih jauh lebih luas
dan berani memasuki ruang-ruang yang disakralkan budaya dan agama untuk
menyoroti teks-teks desktruktif dan humanis yang bahkan mensubordinasi
laki-laki di bawah struktur dan ideologi patriarki.
Setelah
melalui sejumlah semiloka teologi, perspektif feminis kian diminati dan menjadi mata kuliah wajib di beberapa
pendidikan teologi. Pembacaan ulang terhadap teks-teks keagamaan yang
androsentris, termasuk Alkitab, telah melahirkan pemahaman baru yang terabaikan
selama ini, antara lain, lewat pembacaan yang diperkenalkan sejak tahun 2000an
sebagai Membaca Alkitab dengan Mata Baru. Senada dengan keprihatinan Mojau,
Wangkai menggarisbawahi pentingnya kurikulum yang mengasah kepekaan terhadap realitas hidup masyarakat
dan kemampuan mengembangkan refleksi teologi yang mengaitkan pergumulan umat
dan iman, serta keterampilan pelayanan yang memperlengkapi umat sebagai agen
perdamaian, keadilan dan pemulihan lingkungan hidup. Teologi feminis atau studi
jender diusulkan sebagai bagian integral kurikulum pendidikan teologi.
Dalam
diskusi kelompok ada banyak suara yang menegaskan ulang apa yang dikemukakan
mengenai kedua topik di atas. Menyangkut revitalisasi gerakan oikumene berbagai
isu klasik tetap terdengar, antara lain, pertumbuhan gereja dari hasil
perpindahan warga gereja mainstream, perebutan lahan pelayan di antara gereja
anggota PGI, rekristenisasi oleh denominasi tertentu. Salah satu akar
masalahnya ditemukan pada warisan budaya teologi yang berbeda. Namun, gejala
tersebut juga disinyalir sebagai dampak masuknya nilai kapitalisme melalui
globalisasi ke ranah gereja/kalangan Kristen, sehingga penginjilan dan kegiatan
gereja lainnya menitikberatkan kepuasan psikologis dan pertumbuhan kuantitatif.
Pada saat yang sama, gereja-gereja mainstream cenderung stagnan, cenderung
menekankan ortodoksi daripada ortopraksi. Oikumene yang dikembangkan baru pada
batas koinonia, belum pada karya-karya yang menjawab pergumulan masyarakat.
Kendati demikian, ada juga tanda-tanda pengharapan, misalnya, berupa pertemuan
para pimpinan/utusan gereja dari berbagai denominasi (seperti dalam KTN 2011).
Terkait dengan
pendidikan teologi, terdengar suara-suara yang mengeluhkan kurangnya
kesinambungan antara apa yang dipelajari di sekolah-sekolah teologi dengan kerja berteologi gereja, kurangnya
pembinaan spiritual di STT-STT, dominannya rujukan teologi dari “Barat”, minimnya
literatur lokal dan fasilitas perpustakaan, juga dualisme penyelenggaraan
pendidikan teologi versi kementerian agama dan kementerian pendidikan. Mengingat
kesenjangan jender yang masih sangat nyata dalam gereja dan masyarakat,
diusulkan agar studi jenis dan teologi feminis diberi prioritas di STT.
Demikian juga terdengar suara yang mendukung usul penjaluran yang berbeda dalam
pendidikan teologi seperti yang dilakukan di sebagian GKJ (pendidikan untuk
menjadi teolog di STT Jakarta; pendeta di UKDW; guru, konselor, pegawai di
UKSW) dan juga studi teologi bagi yang bukan calon pendeta. Untuk membina visi
oikumenis, diusulkan agar ditingkatkan program pertukaran antar sekolah teologi
dan juga dalam pelayanan. Juga perlu diupayakan agar pendidikan teologi bekerja sama dengan gereja dalam berteologi menghadapi kenyataan beroikumene dan
berbagai persoalan kemasyarakatan.***