CORAM DEO, CORAM MUNDO
CORAM DEO, CORAM MUNDO
“Menghadap
Allah, Menghadapi Dunia”
Ilustrasi pada halaman terdepan dengan
tepat menggambarkan orientasi dan sikap yang seharusnya diyakini dan dihayati
para pelayan Tuhan: Menghadap Allah yang tersalib itu dengan kesadaran akan ketidaklayakan
diri kita untuk berdiri di hadapan-Nya. Di hadapan Allah, coram Deo, kita semua semestinya mengaku, “kami sekalian seperti
seorang najis dan segala kesalehan kami seperti kain cemar” (Yes 64:6).
Kontras antara warna
putih dan hitam menegaskan siapa sesungguhnya para pelayan tahbisan itu di
hadapan Tuhannya. Sebagai orang berdosa, ia hanya bergantung kepada kemurahan
Allah yang memungkinkannya berdiri penuh keberanian di hadirat Yang Mahakudus
(Ibr 10:22). Kenyataan inilah yang sering diungkapkan secara padat dalam frasa simul iustus et peccator (“sekaligus
orang yang dibenarkan dan orang yang berdosa”). Coram Deo, bila kita melihat siapa diri kita yang berlumur dosa,
kita sewajarnya malu dan merasa tak layak menerima pengutusan sebagai pelayan
firman dan sakramen kudus-Nya. Namun, syukurnya, di hadapan salib Kristus, coram cruce, Bapa Mahakudus itu, tatkala
melihat diri kita, melihat Putra-Nya yang dengan tekun telah memikul salib-Nya
ganti kita (Flp 2.8).
Senafas dengan
itu, dapat dikatakan, teologi yang semestinya menjiwai pelayanan para pendeta
adalah theologia crucis (“teologi
salib”). Seperti yang ditegaskan Luther, justru di saliblah Allah menyatakan
siapa diri-Nya dengan cara yang menjungkirbalikkan harapan dan proyeksi manusia
tentang dirinya dan tentang diri-Nya. Versi sebaliknya adalah theologia gloriae (“teologi kemuliaan”)
yang memang lebih sesuai dengan cita-cita dan pandangan dunia tentang Allah dan
tentang dirinya. Adalah panggilan dan
pengutusan para pelayan Tuhan untuk menjadi rekan sekerja Allah melucuti
ilah-ilah palsu melalui pemberitaan tentang Salib yang selalu merupakan batu
sandungan dan kebodohan menurut sistem nilai dan keyakinan mana pun (1 Kor 1:22-23).
Coram
Deo, coram mundo, dengan menghadap Allah, para
utusan-Nya dipanggil untuk berani menghadapi dunia yang terasing dari Allah dan
tak henti-hentinya menciptakan “tuhan-tuhan” yang lebih cocok dengan selera dan
dapat dikendalikan seperti berhala (demikian Kosuke Koyama). Tidak
mengherankan, di hadapan tuhan-tuhan demikian, manusia terlalu sering memasang
topeng kesalehan palsu dan tak segan-segan mengkhianati hati nuraninya. Bahkan,
sambil menyebut nama Tuhan pun, ia tak segan menginjak-injak martabat
sesamanya, dan atas nama keserakahan, menjarah alam yang menghidupinya.
Jika demikian,
apa yang menjadi dasar keyakinan dan sumber kekuatan yang meneguhkan kita dalam
mission impossible ini? Tak lain daripada doa Yesus sendiri bagi
para murid-Nya! Mereka bukan dari dunia tetapi diutus ke dalam dunia (Yoh
17.14-18). Boleh jadi, berbeda dengan apa yang dibayangkan oleh sebagian orang, jalan para pelayan gerejawi
bukanlah jalan berlapis karpet merah dan bertabur bunga. Kerap kali, seperti
yang disaksikan oleh Paulus, jalan itu ditandai dengan penderitaan dan kematian
Yesus (2 Kor 4.7-11). Namun, kita boleh yakin, itulah jalan pembebasan yang memerdekakan
kita dari gambaran palsu tentang kemuliaan, kekuasaan, dan kelimpahan yang
menjerat anak-anak manusia ke dalam penjara ilusi dan ambisi.
Dengan mata yang
tertuju pada salib, kita melangkah bersama, bahu-membahu, untuk menjalankan
tugas kesaksian dan pelayanan kita. Tak
jarang, berbagai jebakan, rintangan, pelecehan
hingga aneka bentuk pengkhianatan membayangi sepanjang jalan yang terhampar
di depan. Dari manakah kekuatan itu
kalau bukan dari fakta berikut: harta itu kita miliki dalam bejana tanah liat,
supaya nyata, “kekuatan yang melimpah-limpah itu berasal dari Allah, bukan dari
diri kami.” (2 Kor 4:7). Kalau bukan karena Kristus telah bangkit dan menang
atas segala kuasa yang memperbudak kita, sungguh tak terbayangkan bagaimana
kita dapat menjawab “ya” atas panggilan Dia yang dengan tekun telah menanggung semuanya
sampai berdarah-darah (Ibr 12:3-4)! (Pdt. Anwar Tjen)