YESUS DARI NAZARET SEORANG BAPA SUCI
(oleh Anwar Tjen, terbit di Pustakaloka, Kompas, 6 April 2009)
Satu karya lagi tentang Yesus dari Nazaret, kali ini dari pena seorang Bapa Suci. Penerbitan Yesus dari Nazaret karya Joseph Ratzinger memang menggelitik rasa ingin tahu. Apa lagi yang mau dikatakan setelah deretan panjang karya sejenis? Apa yang khas dari “pencarian” Kardinal Ratzinger yang terpilih menjadi Paus Benediktus XVI?
Seperti terungkap dalam prakata, karya yang satu ini adalah buah pencariannya akan “wajah Tuhan” (Mazmur 27:8) yang sudah lama ditempuh secara batiniah (innerlich). Siapa pun berhak membantahnya, namun ia meminta simpati pembaca untuk menyimaknya sebelum menyimpulkan sebaliknya.
Pandangan Ratzinger jelas bertolak belakang dengan pencarian Yesus yang cuma menghasilkan sosok manusia biasa. Sebut saja berbagai pencarian Yesus historis sejak Hermann S. Reimarus di abad ke-18 hingga John. D. Crossan dari kalangan “Seminar Yesus” di Amerika Serikat belakangan ini. Kerap kali hasilnya kontroversial. Betapa tidak, entah ditampilkan sebagai nabi atau guru bijak bestari, keilahian Yesus dipersoalkan. Kesahihan sabda-Nya pun diragukan, karena dianggap mencerminkan pandangan Gereja kemudian. Figur yang diimani umat Kristiani sebagai Tuhan, di mata mereka tak lebih dari seorang manusia.
Tidak mengherankan, kritik tajam dilontarkan Uskup Roma itu terhadap rekonstruksi sejarah yang “alih-alih menyibakkan sebuah ikon yang telah lama dikaburkan ... lebih serupa dengan protret para pengarangnya beserta gagasan-gagasan yang mereka punyai”. Di balik kritik ini mengalir deras arus pergeseran paradigma dalam penafsiran Kitab Suci, khususnya sejak masa pencerahan. Dalam pusaran arus rasionalisme, manusia Barat membaca Alkitab bukan hanya sebagai teks sakral yang menyampaikan wahyu ilahi tetapi sebagai tulisan manusia yang terkondisi oleh budaya dan sejarah. Alhasil, berbagai pandangan dogmatis dan keyakinan adikodrati dipertanyakan ulang, bahkan dibongkar, antara lain, lewat perangkat penelitian yang disebut metode historis-kritis.
YESUS HISTORIS
Menariknya, dalam pencarian wajah Tuhan, Ratzinger juga berenang dalam arus yang serupa. Metode historis-kritis tidak diharamkannya. Selaras dengan hakikat iman yang berjangkar pada realitas historis, metode ini malah sangat esensial untuk menelisik konteks historis peristiwa-peristiwa yang dituturkan. Untuk sampai kepada Yesus historis (historischer Jesus), Yesus sesungguhnya, ia bersikap eklektik dengan memilah dan memilih tafsiran yang dinilai paling solid berdasarkan data historis yang tersedia. Tentu saja, ada berbagai pertanyaan yang tidak terjangkau oleh metode historis-kritis semisal apakah manusia Yesus sebelum kelahiran-Nya adalah Allah sendiri. Persoalan bagaimana sosok Yesus dimengerti secara kristologis dalam keterpaduan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru juga tidak dapat diputuskan hanya lewat metode ini. Pemahaman demikian melibatkan keputusan iman yang berpijak pada akal budi historis (historische Vernunft), suatu gagasan bernas yang sayangnya tidak diuraikan lebih jelas.
Yang ingin disuguhkan kepada pembaca adalah Yesus historis yang jauh lebih logis dan mudah dipahami daripada rekonstruksi yang menciutkan apa saja sebagai gejala manusiawi belaka. Penelitian Rudolf Schnackenburg, misalnya, hanya menyimpulkan betapa intimnya hubungan Yesus dengan Allah. Melampaui kesimpulan sebatas itu, penulis menegaskan status Yesus sebagai Anak yang hidup dalam kesatuan dengan Bapa. Tanpa inti hakiki ini, segala perkataan, tindakan dan pengalaman Yesus tidak terpahami. Dimensi kristologis inilah yang membedakan Dia dan Musa yang meski dekat sekali dengan Allah tidak diizinkan melihat wajah-Nya.
Bagian pertama dari dua jilid yang direncanakan menguraikan beberapa peristiwa penting dalam kehidupan Yesus, berikut dengan ajaran-Nya. Pembaca boleh jadi bertanya-tanya mengapa titik berangkatnya justru pembaptisan-Nya, bukan kelahiran-Nya. Alasannya hanyalah soal prioritas. Mengingat usia penulis yang kian meluruh dalam waktu, karya dan ajaran Yesus lebih mendesak untuk dihadirkan ke hadapan publik. Pandangan kristologis-sakramental tampil sebagai warna dominan dalam refleksi teologisnya. Ini kelihatan, misalnya, dalam ulasannya mengenai Doa Bapa Kami. Makanan sehari-hari yang dimohonkan tidak dimengerti sebatas jasmani melainkan mencakup pula makanan dalam perjamuan surgawi kelak. Makanan sakramental berupa tubuh Kristus pada perayaan ekaristi mengantisipasi makanan surgawi itu.
Mengingat kekhasannya, Injil Yohanes mendapat perhatian tersendiri di antara kitab-kitab Injil. Dengan dukungan argumen pakar semumpuni Martin Hengel, penulis menepis pandangan Rudolf Bultmann yang menelusuri akar pemikiran Yohanes pada pandangan Gnostik. Faktanya, aliran Gnostik baru berkembang sejak abad kedua, sementara Injil Yohanes ditulis menjelang akhir abad pertama. Perkiraan ini dikukuhkan oleh penemuan fragmen salinannya di Mesir yang berasal dari awal abad kedua.
Proses “kreatif” yang bergulir di balik penulisan Injil itu tidak disangkal oleh Ratzinger. Bagai senyawa yang diracik dari beberapa unsur, di dalamnya terpadu kisah yang diwariskan “murid terkasih” Yesus, ingatan pribadi anonim yang menulisnya, tradisi gereja dan realitas historis. Namun, ia tidak dapat menerima pendapat Hengel yang menilai penulis Yohanes telah “memerkosa” (vergewaltigt) realitas historis. Sebaliknya, Ratzinger bersikukuh, peran Roh Penghibur (Yunani, parakletos) yang ditekankan oleh Hengel tidak seharusnya melemahkan peran ingatan historis. Ingatan tidak berarti pemelintiran fakta historis semaunya. Seperti yang dialami para murid pasca kebangkitan Yesus, ingatan membuka wawsasan baru mengenai apa yang sungguh-sungguh telah terjadi (factum historicum).
"APOLOGETIS"
Bagaimanapun, kajian Ratzinger tidak dimaksudkan sebagai perdebatan akademis dalam arena tafsir yang penuh ranjau. Sepanjang tulisannya, ia mengungkapkan kedalaman penghayatannya terhadap Kitab Suci sambil berdialog dengan pandangan dan realitas hidup kini. Khotbah Yesus di Bukit dimaknainya sebagai jawaban “tidak” terhadap rezim yang menginjak-injak harkat manusia. Dari sumur inspirasi yang sama ditimbanya kritik terhadap kezaliman kapitalisme yang menurunkan nilai manusia menjadi komoditas. Ucapan Bahagia dalam khotbah yang terkenal itu, tegas Ratzinger, sepantasnya direnungkan sebagai ajakan untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan hakiki mengenai sikap hidup dan pendirian kita.
Sembari berefleksi tentang godaan Iblis yang menantang Yesus “menyulap” batu menjadi roti, suara kritis diperdengarkan terhadap utopia ala Marxisme tentang kesejahteraan dunia yang merata. Apalagi, dunia utopis itu tidak menyisakan ruang bagi Allah. Dalam keyakinan penulis, sejarah mustahil dapat ditata menurut prinsip materialis semata-mata. Tanpa Allah yang adalah kebaikan itu sendiri, bagaimana mungkin hati manusia bisa baik? Tanpa hati yang baik, bagaimana mungkin semuanya dapat diubah menjadi baik?
Seperti kritik penulis terhadap potret-potret sebelumnya, pertanyaan kritis dapat pula diajukan mengenai potret Yesus versi Ratzinger. Sejauh mana protret alternatifnya menyibakkan ikon yang memudar dan tidak mencerminkan gagasan penulisnya sendiri? Bagi pembaca yang biasa terjun dalam gelanggang tafsir, nada Ratzinger cukup sering terdengar apologetis. Pandangan yang membela keyakinannya cenderung dipertahankan melawan pendapat yang berseberangan. Di balik proses ini pun teramati pengaruh tradisi gereja. Disadari atau tidak, soal siapa Yesus tak mungkin lepas dari soal keyakinan.
Terjemahan karya pewaris Takhta Suci itu, sayangnya, terkesan kurang merata. Terutama menjelang akhir, bahasanya kurang mengalir. Selain kata yang makin langka seperti “berkanjang”, penerjemah senang menciptakan istilah sendiri seperti “pindai-hati” yang belum dikenal luas. Pembaca yang jeli akan menemukan lima baris komentar editorial mengenai istilah “Sang Kebangkitan”, padanan der Auferstandene (hlm. 330), yang rupanya tak sempat dihilangkan sampai detik akhir penyuntingan.
(Anwar Tjen, PhD dari Universitas Cambridge dalam Filologi dan Tafsir Kitab Suci, Konsultan Lembaga Alkitab Indonesia)
KUASA MINYAK URAPAN & PERJAMUAN KUDUS?
MINYAK URAPAN DAN PERJAMUAN KUDUS yang diberikan di gereja tertentu belakangan ini menimbulkan tanda tanya bagi cukup banyak warga gereja. Sebab, minyak dan perjamuan itu diyakini membawa mujizat kesehatan dan ekonomi, serta berbagai berkat lainnya. Benarkah demikian? Bagaimana kita mengujinya berdasarkan Alkitab? Tulisan ini merupakan versi singkat dari bahan yang disampaikan di GKPI Menteng (April 2009).
A. KUASA MINYAK URAPAN?
Menurut Pdt. DR (?) Yesaya Pariadji yang mempopulerkannya, Yesus memerintahkan gereja yang dipimpinnya untuk mengembalikan kuasa Perjamuan Kudus dan Minyak Urapan. Tidak tanggung-tanggung, Yesus mengajarnya lebih dari tujuh kali tentang kuasa Perjamuan Kudus. Ia diberi Roh Martir, sehingga mempunyai kuasa untuk membentuk Perjamuan Kudus yang benar. “Saya diberikan penglihatan dan janji Tuhan Yesus akan menyembuhkan lebih dari 10.000 orang. Saya pernah diberikan penglihatan di alam roh, setan dan roh jahat berduyun-duyun datang dan berlutut di kaki saya, dan memohon: Pariadji, jangan siksa kami” (Bahana, April 2001)
1. DEFINISI PENGURAPAN (anointing)
“Urap”: bedak cair, boreh (bau-bauan untuk melumasi badan supaya harum (Kamus Besar Bahasa Indonesia).
“Anoint”: menuang minyak atau mengolesi, melumuri kepala atau bagian tubuh lainnya; bisa juga dilakukan pada benda tertentu
2. PEMAKAIAN NON-RELIGIUS
- membuat roti (Kel 29.2)
- mencat rumah (Yer 22.14,
“masoakh”)
- kosmetik (Rut 3.3; Am 6.6)
- menyambut tamu (Luk 7.46)
- perawatan medis (Yes 1.6;
Yeh 16.9; Mrk 6.13)
3. PEMAKAIAN RELIGIUS
Benda/tempat
- tugu, batu (Kej 28.18; 31.13)
- Kemah Suci (Im 8:10), mezbah (Kel 29:36; Bil 7:10), Tabut Hukum (Kel 30.26), segala perlengkapan (Kel 40.10; Bil 7:1): semua diurapi untuk dikuduskan bagi Tuhan
Manusia
- Imam (Kel 28.41; Bil 3.3)
- Nabi (1Raj 19.16; Yes 61.1)
- Raja (1Sam 9.16; 16.3): memberi
kuasa sebagai penguasa teokratis; dari konsep ini berkembang keyakinan
akan “Dia Yang Diurapi” (mesiakh, Mesias atau Kristus)
- Jenazah (Mrk 14.8; Luk 23.56
4. MINYAK URAPAN DALAM ALKITAB
Minyak khusus ini diracik untuk keperluan ibadah di Kemah Suci (Kel 30.22-33). Bahannya: mur, kayu manis, tebu “wangi”, kayu teja, minyak zaitun. Minyak ini tidak boleh dibuat sembarangan atau dipakai untuk orang awam!
5. YESUS DAN PARA RASUL MENGAJARKAN KUASA MINYAK URAPAN?
Dalam PB hanya ada dua nas yang berbicara tentang penggunaan minyak dalam penyembuhan: Mrk 6.13 & Yak 5.14. Padahal, begitu banyak peristiwa penyembuhan tanpa menyebut penggunaan minyak apa pun! Dalam Mrk 6.13, Yesus tidak memerintahkan pengolesan minyak. Murid-murid yang diutus-Nya memberitakan Injil dan mengusir setan. Tanpa ada perintah khusus dari Yesus, mereka “mengoles orang sakit dengan minyak dan menyembuhkan mereka”.
Yak 5.14 adalah nas yang paling jelas tentang penyembuhan orang sakit lewat doa dan pengolesan minyak dalam nama Tuhan. Dalam 5:15 ditegaskan, “doa yang lahir dari iman akan menyelamatkan orang itu”. “Ritus” itu dilakukan dengan memanggil presbyteros yang kurang lebih setara dengan imam atau pendeta sekarang ini. (NB: Dalam surat 1 Klemens "presbyteros"lah yang berhak untuk melaksanakan ekaristi, seperti lazimnya wewenang melayankan sakramen bagi para pendeta di banyak gereja Protestan sekarang ini.)
Apa hubungannya dengan “minyak”? Di dunia Timur Tengah kuno minyak sering digunakan untuk mengurangi rasa sakit. Karena itu, penggunaannya dalam ritus Yakobus wajar-wajar saja. Namun, tidak ada indikasi adanya hubungan langsung antara minyak dan kuasa penyembuhan yang istimewa. Dalam Yak 5.15-16, yang ditekankan ialah kuasa doa.
JELASLAH, ritus Yakobus merupakan salah satu ritus kuno dalam lingkungan Kekristenan untuk mendoakan orang Kristen yang sakit, walaupun tidak luas penggunaannya di berbagai wilayah.
6. RITUS PENYEMBUHAN VERSI YAKOBUS HILANG TAK BERBEKAS?
Sebenarnya, tidak! Ritus Yakobus masih dilakukan di Gereja Katolik berupa sakramen Urapan Orang Sakit. Ritus ini juga dilaksanakan di gereja Timur seperti Gereja Ortodoks, Nestorian, Armenia dan Koptik.
Sakramen ini diberikan kepada orang Kristen yang sakit berat atau lansia yang sudah lemah sekali, selambat-lambatnya menjelang bahaya maut (Katekismus Gereja Katolik no. 1527-1532). Dalam ritus Katolik, yang diurapi adalah dahi dan tangan. Di gereja-gereja Timur, bagian yang diurapi dapat meliputi mata, telinga, hidung, bibir dan tangan. Khusus bagi laki-laki, bahkan selangkangan pun diurapi, walaupun ini makin jarang dilakukan. Ritus pengolesan minyak ini dilakukan dengan doa mohon pengampunan Tuhan atas dosa yang dilakukan lewat penglihatan, pendengaran, penciuman, pengecapan, gerakan dan kenikmatan daging (carnal).
Menurut Katekismus Katolik, sakramen Urapan Orang Sakit mempunyai “buah-buah rahmat khusus”, yakni: persatuan dengan penderitaan Kristus demi keselamatan dirinya dan Gereja, penghiburan dan keberanian untuk menanggung sakit, pengampunan dosa, penyembuhan (kalau berguna bagi keselamatan jiwanya), transisi ke hidup abadi.
Kita dapat pula menelusuri beberapa jejaknya dalam sejarah gereja: Origenes (abad 3) mengaitkan pengampunan dosa dengan ritus Yakobus, disertai penumpangan tangan. Menurut Krisostomus (abad 4), warga awam sering membawa pulang minyak dari pelita-pelita dalam gereja, lalu mengoleskannya pada orang sakit. Krisostomus berpendapat, hal ini membuktikan, segala sesuatu dalam gereja dengan sendirinya ikut tersucikan! Serapion (abad 4), dalam doa penyucian minyak untuk orang sakit, menyebut manfaatnya: untuk memperoleh anugerah dan pengampunan dosa, sebagai obat bagi kehidupan dan keselamatan, kesehatan jiwa, tubuh dan roh, untuk peneguhan yang sempurna. Bede (abad 8) juga menyebut ritus Yakobus dan mengaitkannya dengan pengampunan dosa: “Yang menyelamatkan orang sakit jelaslah doa berdasarkan iman, sedangkan minyak yang disucikan adalah tandanya ... Anugerah Kristus yang ditandai oleh pengurapan menghancurkan cengkeraman maut, yakni dosa sehari-hari”.
Ritus Minyak Suci mendapat pengakuan sebagai sakramen dalam Konsili Trente (1545-1563) yang menegaskan, Kristuslah yang menetapkannya. Ketetapan ini bermaksud mengecam penolakan Luther terhadap status sakramentalnya. Namun, perlu dicatat, Luther bersikap demikian terutama karena penyalahgunaan yang terjadi. Di Abad Pertengahan, ritus pengurapan orang sakit dimengerti semakin sempit sebagai persiapan untuk meninggal dunia (viaticum). Kritik Luther juga disebabkan oleh maraknya kepercayaan akan keampuhan sakramen itu sendiri, bukan doa yang dilandasi iman. Selain itu, ada pula alasan ekonomis yang melatarbelakanginya. Para imam sering menuntut imbalan yang keterlaluan. Alhasil, umat yang miskin hanya memintanya bila yang sakit diyakini sudah berada di ambang kematian.
Praktek penggunaan minyak doa (eukhelaion) di gereja Ortodoks justru memperlihatkan situasi yang sebaliknya. Orang yang sakit ringan, bahkan yang sehat, dapat menerima minyak doa sebagai pelengkap sakramen pengakuan dan persiapan Perjamuan Kudus.
SINGKATNYA, ritus Yakobus tidak pernah hilang dalam perjalanan sejarah, tetapi mengalami metamorfosis dalam berbagai tradisi yang diteruskan sampai kini.
7. APAKAH RITUS YAKOBUS MASIH BERLAKU DI GEREJA PROTESTAN?
Ini tidak mudah dijawab mengingat variasi bahkan kontradiksi dalam tradisi yang disebut “Protestan”!
Di gereja Sidang Jemaat Allah (Assemblies of God), pengurapan tidak dimutlakkan tetapi diakui sebagai salah satu sarana yang dapat digunakan bersama dengan penumpangan tangan untuk penyembuhan. Disebutkan pula, dalam Alkitab penyembuhan sering tidak menggunakan sarana demikian. Namun, penggunaan minyak dan penumpangan tangan atas orang yang berdoa dapat menolong meneguhkan imannya.
Gereja Presbiterian juga melaksanakan tradisi Yakobus, yakni dalam bentuk ibadah pemulihan (service of wholeness). Orang yang hendak didoakan maju ke depan, boleh juga berlutut. Lalu pendeta dan penatua menumpangkan tangan atas kepalanya, sementara jemaat mengiringi dengan nyanyian penuh doa. Pendeta atau penatua mencelupkan jari dengan sedikit minyak dan membuat tanda salib di dahinya, lalu berdoa untuk penyembuhannya. Ritus ini dapat pula dilakukan di rumah, rumah sakit atau rumah jompo. Begitu pula, beberapa Gereja Lutheran masih mengadakan ibadah pemulihan atau penyembuhan lewat sejenis ritus Yakobus. Pengurapan dilakukan dengan penumpangan tangan dalam ibadah yang melibatkan pembacaan Alkitab dan khotbah. Berikut salah satu doa yang diucapkan bersama dengan penumpangan tangan: “Aku tumpangkan tanganku atasmu di dalam nama Tuhan kita. Kiranya Tuhan menilik dan memenuhi engkau dengan anugerah-Nya, sehingga engkau mengenal kuasa kasih Allah yang menyembuhkan. ‘X’, aku mengurapi engkau dengan minyak ini di dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus. Amin.”
PADA PRINSIPNYA, berbagai tradisi Protestan tidak menolak serta merta penggunaan minyak dan penumpangan tangan dalam doa pemulihan. Namun, umumnya ditegaskan, minyak yang digunakan tidak mengandung kuasa mujizat (miraculous power). Lagi pula, minyak tersebut bukanlah “alat anugerah” (means of grace) yang sama seperti sakramen yang ditetapkan Kristus.
B. KUASA PERJAMUAN KUDUS?
Segi kontroversial dalam klaim tentang kuasa Perjamuan Kudus adalah bahwa sakraman ini membawa berkat material, termasuk penyembuhan. Benarkah demikian?
8. MAKNA PERJAMUAN KUDUS
Berdasarkan Dokumen Konvergensi Dewan Gereja-gereja se-Dunia di Lima (1982), Perjamuan Kudus secara umum dimengerti sebagai sakramen anugerah yang Allah kerjakan di dalam Kristus melalui kuasa Roh Kudus. Dengan menerima roti dan anggur, Kristus menganugerahi umat-Nya persekutuan dengan diri-Nya. Dalam Perjamuan Kudus, Kristus menjanjikan kepada setiap orang percaya pengampunan dosa (Mat 26.28) dan jaminan hidup kekal (Yoh 6:51-56). Sama sekali, tidak ditemukan aspek material seperti kesehatan atau berkat jasmani lainnya penerimaan sakramen ini. Tentu saja, “kesembuhan” (healing) dapat dimengerti secara rohani (inner healing), namun pemahaman ini merupakan tafsiran meluas dari pengampunan dosa yang dijanjikan Kristus lewat Perjamuan itu.
9. KUASA PERJAMUAN KUDUS: MENDAPAT BERKAT MATERIAL & PENYEMBUHAN?
Joseph Prince (2006) dalam bukunya, Health and Wholeness through the Holy Communion (“Kesehatan dan Keutuhan lewat Perjamuan Kudus”) mengatakan, Perjamuan Kudus ditetapkan Allah sebagai sarana penting untuk mendapatkan penyembuhan dan keutuhan. (NB: Prince adalah pendeta New Creation Church di Singapura, yang beranggotakan 15.000 warga.)
Bagi Prince, Perjamuan Kudus bukan hanya ritus yang dirayakan tetapi juga berkat yang diterima. Manfaat kedua unsur Perjamuan itu dibedakannya sebagai berikut: anggur/darah untuk pengampunan dosa, sedangkan roti/tubuh untuk penyembuhan. Pandangan ini didasarkan terutama pada 1Kor 11.29-30. Menurut Prince, yang membuat orang Kristen jatuh sakit bahkan meninggal dunia setelah mengikuti Perjamuan itu adalah karena mereka tidak tahu mengapa mereka makan roti itu.
Cara yang benar untuk mengikuti Perjamuan Kudus, tegas Prince, ialah dengan menyadari bahwa tubuh kita menjadi sehat, kuat dan awet muda ketika kita mengambil tubuh Kristus yang dibagikan. Sama seperti menelan obat yang dianjurkan dokter, Perjamuan Kudus harus lebih sering diterima bila orang sedang sakit.
Benarkah ini yang dimaksudkan Paulus dalam 1Kor 11.29: “Barangsiapa makan dan minum tanpa mengakui tubuh Tuhan, ia mendatangkan hukuman atas dirinya” (11.29)? Di sini, kita harus memperhatikan konteks tulisan Paulus. Di ayat 27, Paulus berbicara tentang cara yang tidak layak untuk mengikuti Perjamuan. Orang berebut makan, sehingga menimbulkan perpecahan. Dengan kata lain, yang dikritik Paulus ialah cara yang tidak layak dalam mengikuti Perjamuan itu. Orang yang berbuat demikian berdosa terhadap tubuh dan darah Kristus.
JADI, pernyataan Paulus tidak ada kaitannya dengan apa yang Prince sebutkan sebagai manfaat berupa kesehatan atau pemulihan jasmani yang terkandung dalam roti dan anggur Perjamuan!
10. ALKITAB MENGAJARKAN KUASA MINYAK URAPAN & PERJAMUAN KUDUS?
Pernyataan-pernyataan Pdt. Pariadji memperlihatkan dua sumber utama ajarannya mengenai kuasa “sarana mujizat” itu: YANG PERTAMA DAN TERUTAMA, penglihatan langsung dalam perjalanan ulang alik ke surga dan neraka (http://www.tiberias.or.id/main.php?id=27).
KEDUA, pemahaman “main comot” terhadap teks-teks Alkitab dengan memperkosa maknanya.
Sebagai contoh dapat disimak pemahamannya tentang kutipan berikut dari kitab Mikha: “Berkenankah TUHAN kepada ribuan domba jantan, kepada puluhan ribu curahan minyak?” (Mi 6.7) Pariadji mengartikan “ribuan domba jantan” sebagai ribuan Perjamuan Kudus dan “puluhan ribu curahan minyak” sebagai pulihan ribu Minyak Urapan. Penjelasan seperti ini benar-benar memperkosa maksud teks Alkitab. Pertanyaan retoris di ayat 7 itu justru bermaksud untuk menegaskan bahwa bukan domba jantan atau minyak urapan yang dituntut Tuhan, melainkan apa yang dikatakan dalam ayat berikutnya: "Hai manusia, telah diberitahukan kepadamu apa yang baik. Dan apakah yang dituntut TUHAN dari padamu: selain berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allahmu?" (Mi 6.8)
Ketika menguraikan berkat-berkat Perjamuan Kudus dan Minyak Urapan, jelas sekali Pariadji mencomot ayat-ayat Alkitab lepas dari konteksnya. Mzm 91.15-16 dipakai sebagai acuan untuk janji umur panjang; Mzm 91.6: sehat dan bebas dari sakit; Mzm 91.13: menang atas setan dan kuasa kegelapan; Yes 48:19: keluarga selamat dan tercatat sebagai warga surga; Ibr 1:9: menjadi unggul di bidang masing-masing. Padahal, semua nas ini tak berbicara sedikit pun tentang Minyak Urapan atau Perjamuan Kudus!
11. PENUTUP
Barangkali ada yang bertanya: Apakah mujizat masih terjadi? Bapa Gereja Agustinus (354-430): Ciptaan adalah manifestasi kehendak Allah. Mukjizat bukan masalah bila orang percaya kepada Allah sebagai pencipta dan penguasa ciptaan-Nya.
Namun, dalam arti yang spesifik sebagai tindakan ilahi yang menakjubkan dan luar biasa, mujizat bukanlah suatu tindakan yang dapat “dirutinkan” sebagai suatu prosedur umum. Meskipun mengadakan berbagai mujizat, Yesus tidak pernah mengiklankan tindakan luar biasa itu seperti yang dilakukan beberapa pengkhotbah sekarang.
Lebih parah lagi, ada salah kaprah, seolah-olah semua penyakit dan penderitaan akan dilepaskan oleh Tuhan lewat doa dan tindakan spektakular, dengan minyak urapan ataupun sarana lainnya. Kita perlu bertanya mengapa Paulus tidak menerima kelepasan, padahal sudah tiga kali berseru kepada Tuhan (2Kor 12.8)? Jawaban Tuhan baginya: “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna” (12:9)!
Tentu dapat dimengerti, kita ingin sejahtera, bebas dari masalah dan penderitaan. Wajar pula jika solusi kehidupan diharapkan tidak melalui proses panjang yang menyakitkan. Namun, Alkitab tidak hanya mengajarkan bagaimana kita bisa lepas dari semua pengalaman yang tidak kita harapkan. Dalam berbagai penderitaan dan krisis, lahir batin, kita juga diajar Tuhan menjalaninya dalam iman dan pengharapan.
Mujizat masih terjadi, tetapi kehidupan orang beriman dapat pula menjadi “mujizat” yang menakjubkan jika dalam menempuh lembah kekelaman dan penderitaan tetap terungkap keyakinan, seperti berikut: “Sebab jika aku lemah, maka aku kuat” (2Kor 12.10). “Sekalipun pohon ara tidak berbunga, pohon anggur tidak berbuah, hasil pohon zaitun mengecewakan ... aku akan bersorak-sorak di dalam TUHAN” (Hab 3.17-18)!
KESIMPULAN: Alkitab tidak pernah mengajarkan bahwa minyak urapan atau kedua unsur Perjamuan Kudus mengandung khasiat untuk kesehatan tubuh atau mendatang berkat material seperti kemakmuran dan kelepasan dari krisis ekonomi. Ajaran demikian benar-benar salah memahami Alkitab, bahkan memaksakan pemahaman yang tidak dimaksudkan oleh Alkitab.
Akhirnya, berbagai klaim tentang mujizat dalam Minyak Urapan dan Perjamuan Kudus haruslah diuji. Seperti prinsip yang diajarkan oleh Rasul Paulus: “Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik” (1Tes 5.21)!
Bogor-Jakarta
Minggu Sengsara 2009
Anwar Tjen