Anwar Tjen Online
Kamis, 08 Oktober 2009
  OBITUARIUM: MARTIN HENGEL (1926-2009)
Selamat Jalan, Prof. Martin Hengel!

Beberapa waktu lalu, kabar kepergian Prof. Martin Hengel merebak dalam dunia maya penelitian Kitab Suci yang lazim disebut “ilmu biblika”. Mahaguru Tübingen ini menghadap Khaliknya pada tanggal 2 Juli 2009. Tidak begitu mengherankan melihat begitu banyak ungkapan belasungkawa atas kehilangan besar dalam arena penelitian biblika. Kuantitas dan kualitas karya-karya yang diwariskannya beserta dengan sejumlah kenangan akan kepribadian dan keyakinannya memang meninggalkan kesan mendalam.

Riwayat hidup Martin Hengel cukup unik. Seperti pernah dituturkannya kepada kami di Cambridge, dia termasuk pendatang yang agak kesiangan dalam dunia studi biblika. Minatnya amat berseberangan dengan kepentingan ayahnya, seorang pengusaha pabrik pakaian dalam perempuan! Martin menggantikan kedudukan ayahnya sampai akhir hidupnya sementara tetap berkarya sebagai teolog dan pendeta yang memfokuskan penelitiannya pada interaksi antara Yudaisme, Hellenisme dan Kekristenan mula-mula. Minat ini juga yang mendorongnya menulis disertasi pasca-doktoral (Habilitationschrift) di Universitas Tübingen almamater tempatnya berkarya sampai menapaki masa emeritus.

Dalam suatu diskusi di Cambridge, Prof. Hengel pernah mengeluhkan terkikisnya minat terhadap studi-studi klasik yang mendasar. Katanya, kebanyakan orang sekarang ini ingin menghasilkan karya-karya serba instan. Fenomen ini sedang berlangsung di seluruh dunia penelitian biblika di mana berlaku prinsip “hukum rimba”: Publish or Perish (kurang lebih berarti “Teruslah menerbitkan atau habislah riwayat akademismu”). Berulang kali, Hengel menegaskan, karya-karya berkualitas harus dibangun atas data solid yang dihimpun dan dianalisis dengan cermat kalau tidak ingin membangun rumah di atas pasir. Seperti tecermin dari tulisan-tulisannya yang tebal-tebal, sering lebih dari 500 halaman, semuanya didukung oleh kepadatan informasi dan kecermatan pengamatan.

Hengel bertutur, ketika ia memulai karir akademisnya, Rudolf Bultmann adalah nama besar yang tidak dapat diganggu gugat kalau ingin tetap berada dalam lingkaran dunia penelitian biblika di seluruh universitas Jerman. Menubruk tembok besar itu sama dengan bunuh diri akademis. Namun, seperti yang dibuktikan oleh jejak rekam penelitiannya, kita dapat menggali terowongan di bawah dan sekitar tembok untuk memperlihatkan jalan alternatif ke depan. Apalagi, tembok itu semakin nyata memperlihatkan berbagai retak bahkan lubang.

Demikianlah yang dilakukannya dalam studi teks-teks Keyahudian, Hellenisme dan Kekristenan. Selalu dengan data historis yang kokoh, meski tidak selalu melahirkan kesimpulan-kesimpulan yang terkesan “hebat” atau “mengguncangkan”. Mengapa? Karena menurut Hengel, dunia studi biblika, seperti juga studi sejarah pada umumnya, adalah dunia yang dibangun atas “perkiraan, dugaan” (conjecture).

Prof. Martin Hengel terkenal sebagai pakar senior yang menghargai generasi muda yang sedang berjuang menghasilkan karya-karya awal. Ia selalu memberi dorongan agar karya-karya ini menjadi jembatan kokoh bagi pengembangan karir akademis berikutnya. Beberapa mahasiswa pasca-doktoral bimbingannya mengagumi sikap ilmiahnya yang amat berdisiplin. Sebelum sampai kepada kesimpulan-kesimpulan “besar”, Hengel menyarankan, sebaiknya menarik kesimpulan-kesimpulan yang lebih bersahaja saja namun padat data. Hasil penelitian seperti ini pun tetap dapat dipertanyakan dan disempurnakan tetapi tidak dapat ditepis dengan mudah. Mungkin ini dapat dibandingkan dengan beberapa karya “sensasional” beberapa pakar biblika yang belakangan ini dilemparkan sebagai bola panas ke hadapan publik.

Hengel memiliki banyak sahabat dari berbagai belahan bumi. Termasuk di antaranya adalah rekan-rekannya di Universitas Cambridge seperti Prof. Graham Stanton dan Prof. William Horbury. Sebagai pengakuan atas karya-karyanya, ia dianugerahi doktor honoris cause (“Doctor of Divinity”) pada tahun 1989, bersamaan dengan mahafisikawan Stephen W. Hawking dan mantan Sekjend PBB, Javier Pérez de Cuéllar!

Walau hanya sebentar, perkenalan singkat dan percakapan dengan Prof. Hengel cukup memberi kesan untuk dikenang. Seorang pakar mumpuni namun tetap bersahaja. Dalam dirinya “jurang” yang sering teramati antara dunia ilmu dan iman ternyata tidak perlu menjadi batu sandungan. Wajar saja, semasa hidupnya dan bahkan sesudahnya, banyak yang memandangnya sebagai figur teladan bagi mereka yang ingin bersikap terbuka meretas jalan dalam dunia penelitian biblika tanpa mengorbankan integritas imannya.***
 
Komentar: Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]





<< Beranda

Foto Saya
Nama:

Menikah dengan Marta Romauli Simamora, dikaruniai tiga putra: Tobias, Theosis dan Timaeus. Melayani sebagai pendeta di Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI, berpusat di Pematangsiantar) dan konsultan ahli di Lembaga Alkitab Indonesia (LAI). Studi lanjut dalam filologi dan tafsir Kitab Suci di Union Theological Seminary in Virginia, USA (Th.M./1995), Pontificium Institutum Biblicum, Roma (1997-98), Ecole Biblique, Yerusalem, Universitas Tesalonika, Yunani (2000). Menyelesaikan studi doktoral di Fakultas Studi Oriental, Cambridge University, UK (PhD/2003), dengan disertasi mengenai Septuaginta, yakni Kitab Suci Ibrani yang pertama kali diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani. Studi komplementer dalam bidang linguistik di Australian National University, Canberra (GradDipl/2007).

Arsip
Mei 2008 / Agustus 2008 / September 2008 / Januari 2009 / April 2009 / Oktober 2009 / Juni 2012 / Juli 2012 / Oktober 2012 / Februari 2013 / Mei 2013 /


Powered by Blogger

Berlangganan
Postingan [Atom]