PROF. PAUL J. ACHTEMEIER: OBITUARIUM (1927-2013)
SATU lagi
pakar Perjanjian Baru yang mumpuni telah meninggalkan kita. Prof. Paul J. Achtemeier
meninggal pada tanggal 28 Januari 2013 dalam usia 85 tahun. Kepergiannya didahului sekitar satu dasawarsa oleh istrinya Dr. Elisabeth Achtemeier, seorang
pakar Perjanjian Lama yang adalah juga pengkhotbah terkenal semasa hidupnya.
PROF. Achtemeier
adalah salah seorang pakar terkemuka yang mempunyai kemampuan untuk
berinteraksi dengan berbagai kalangan, baik warga gereja yang memerlukan wawasan alkitabiah menyikapi berbagai isu maupun segelintir
pakar yang berkarya dalam menara gading akademis. Kiprahnya yang bersifat lintas-konfesional tampak jelas ketika ia menjadi pakar Protestan pertama yang dipilih sebagai Presiden Asosiasi Biblika Katolik (Catholic Biblical
Association). Achtemeier juga pernah menjadi Presiden Society Biblical
Literature yang beranggotakan lebih dari delapan ribu pakar dan pemerhati
biblika di Amerika Serikat dan berbagai belahan dunia. Penghargaan terhadap peran dan kepakarannya dilestarikan dalam penghargaan Paul J.
Achtemeier Award for New Testament Scholarship setiap tahun sejak 2004. Salah satu karya populer yang diselesaikan di bawah
kepemimpinan editorialnya adalah Harper's Bible Dictionary. Dalam lingkungan akademis yang lebih esoteris, kepakarannya
ditandai pula, antara lain, dengan karya tafsir atas surat 1 Petrus dalam seri Hermeneia
yang prestisius.
PERKENALAN saya dengan Prof. Achtemeier berawal dari studi pasca sarjana di
Union Theological Seminary in Virgina pada tahun 1990an. Pada awal seminar
doktoral yang saya ikuti sebagai mahasiswa program S-2, Achtemeier
memperkenalkan diri sebagai pengampu seminar Perjanjian Baru tingkat lanjut,
lalu segera menegaskan bahwa ia bukanlah seorang imperialis! Karena itu,
mahasiswa bebas memberi pendapat dan pandangan yang berseberangan dengan
dirinya tanpa harus merasa terintimidasi. Selain itu, masih segar dalam ingatan
saya betapa mahaguru yang satu ini mencoba memberi semangat kepada mahasiswa
asing yang harus berbahasa Inggris mengikuti diskusi-diskusi
ilmiah dalam seminar yang diwajibkan bagi para mahasiswa program PhD. Seandainya
mahasiswa-mahasiswa Amerika ini juga diwajibkan berbahasa asing, berapa yang
masih tersisa dalam kelas ini?, tanya Achtemeier. Spontan, komentar ini
membesarkan hati saya di tengah-tengah seminar yang diikuti oleh
kandidat-kandidat jebolan perguruan tinggi papan atas seperti Princeton
dan Yale.
SELAIN
seminar Perjanjian Baru, saya sempat mengambil seminar surat Roma yang juga diampu oleh Prof. Achtemeier. Penggalian teks dalam seminar yang amat "bergizi" itu tidak pernah berhenti hanya pada aspek teknis-tekstual tetapi selalu bergerak lebih jauh ke implikasi hermeneutisnya. Dalam aspek yang belakangan ini, setidaknya mahasiswa dari dunia 2/3 benar-benar tidak ketinggalan! Teologi Paulus yang terkenal rumit itu diurainya bersama kami yang dilibatkan langsung untuk membaca bersama dan menemukan strukturnya yang terjalin dari satu bagian ke bagian lain dengan senantiasa memberi perhatian pada makna kontekstualnya. Dari seminar sejenislah kami belajar tentang New Perspective on Paul yang kontroversial dan juga temuan-temuan Jesus Seminar yang sensasional. Kami diajak berpikir kritis dan orisinil tetapi bukan dengan membangun hipotesis, apalagi ilusi, yang tak lebih mencerminkan keresahan eksistensial manusia masa kini yang terbata-bata mengelola dampak hasil karyanya sendiri!
SIKAP
Achtemeier yang mendorong kemandirian dalam meneliti dan mengembangkan wawasan
ilmiah sangat nyata ketika ia menjadi pembimbing saya dalam penulisan tesis.
Saya menemukan teman dialog yang tidak "menggurui", meskipun saya
tahu seperti apa kalibernya. Suatu kali ia mengomentari gagasan yang saya kutip
dari Prof. Martin Hengel. Dia akui, Hengel memang seorang pakar yang mumpuni, tetapi
dalam penelitian ilmiah jangan langsung percaya padanya! Semua harus diteliti
dan disimpulkan sendiri berdasarkan data atau fakta yang tersedia.
MOMEN lain
yang saya kenang baik adalah saat ia menawarkan untuk menjadi pembimbing
studi doktoral seandainya saya diizinkan dan didukung untuk langsung meneruskan
studi ke program PhD di sekolah yang sama. Dia berjanji akan memberi rekomendasi
terbaik, mumpung masih ada satu dua tahun sebelum ia memasuki masa purna bakti. Namun, Achtemeier mengingatkan, menempuh studi doktoral itu bagaikan
berenang di pinggiran samudera. Kita semakin terpesona dan menyadari betapa luasnya
dunia yang akan kita arungi. Karena itu, kita perlu memiliki sikap yang tepat dan menjadi semakin rendah
hati! Seusai studi S-2, saya langsung kembali berkarya di Indonesia, namun, saya amat berterima kasih kepadanya, sebab rekomendasi profesor kondang inilah yang turut membuka pintu demi pintu untuk menempuh studi tahap
selanjutnya, termasuk studi doktoral di Universitas Cambridge (1998-2003).
DALAM kenangan penuh rasa syukur, saya ucapkan "Selamat Jalan" kepada
mahaguru yang inspiratif ini. Bagi saya, kenangan padanya bukan hanya dibangun
di atas reputasi akademisnya melainkan juga sikap dan keteladanannya
(Ibrani 13.7).***